Rabu, 01 Oktober 2014

TRADISI TAHLILAN MENURUT ULAMA MADZHAB

Tradisi tahlilan dan memberi sedekah di hari-hari tertentu setelah ditelusuri sebenarnya tidak hanya menjadi kebiasaan umat Islam di Jawa. Jauh sebelum itu, yakni di masa Ibnu Hajar al-Haitami al-Syafi'i (1504-1567 M dan beliau memiliki banyak pengikut di wilayah Yaman) pernah ditanya mengenai hal diatas dan beliau memfatwakan bahwa perbuatan itu tidak diharamkam meskipun terbilang sesuatu yang baru. Bahkan dengan niat-niat tertentu pelakunya akan mendapatkan pahala. Berikut fatwa beliau:

(وَسُئِلَ) أَعَادَ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ ... عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ اللاَّتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوْا بِذَلِكَ إلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَهُمْ خَسِيْسًا لاَ يَعْبَئُوْنَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ اْلأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ ... وَعَنْ الْمَبِيْتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ ِلأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ ؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ ما يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إلاَّ إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوْهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ لَوِ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ ... وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيْتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَسْلِيَةٌ لَهُمْ أَوْ جَبْرٌ لِخَوَاطِرِهِمْ لَمْ يَكُنْ بِهِ بَأْسٌ ِلأَنَّهُ مِنَ الصِّلاَتِ الْمَحْمُودَةِ الَّتِي رَغَّبَ الشَّارِعُ فِيْهَا وَالْكَلاَمُ في مَبِيْتٍ لاَ يَتَسَبَّبُ عَنْهُ مَكْرُوْهٌ وَلاَ مُحَرَّمٌ وَإِلاَّ أُعْطِيَ حُكْمَ مَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ إذْ لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ وَاَللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ (الفتاوى الفقهية الكبرى لابن حجر الهيتمي الشافعي 2 / 7)

"(Ibnu Hajar al-Haitami) ditanya mengenai hal yang dilakukan pada hari ketiga setelah kematian dengan menghidangkan makanan orang-orang fakir dan lainnya, begitu pula pada hari ketujuh dan setelah sebulan. Mereka tidak melakukan hal ini kecuali untuk mengikuti tradisi penduduk setempat. Hingga jika ada diantara mereka ada yang tidak melakukannya, maka mereka kurang disenangi. Apakah jika mereka yang bertujuan melakukan tradisi dan sedekah, atau sekedar mengikuti tradisi, bagaimana tinjauan hukumnya, boleh atau tidak? Ibnu Hajar al-Haitami juga ditanya mengenai menginap di rumah duka hingga melewati masa satu bulan, sebab hal itu seperti kewajiban. Apa hukumnya? (Ibnu Hajar) menjawab: Semua yang terdapat dalam pertanyaan adalah bid'ah yang tercela tapi tidak haram. Kecuali bila dilakukan untuk meratapi mayit. Dan seseorang yang melakukannya bertujuan untuk menghindari ucapan orang-orang bodoh dan dapat merusak reputasinya jika meninggalkannya, maka ada harapan dia memperoleh pahala. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah Saw tentang seseorang yang hadats dalam salat untuk memegang hidung dengan tangannya.[1] Para ulama mengemukakan alasan untuk menjaga nama baiknya jika tidak melakukan cara seperti ini. Dan jika menginap di rumah duka bisa menghibur keluarganya dan bisa menentramkannya, maka tidak apa-apa bahkan ini bagian dari cara merajut hubungan yang terpuji, sebagaimana dianjurkan oleh syariat. Tema ini terkait menginap yang tidak menimulkan hal-hal makruh atau haram. Jika ini terjadi maka berlaku hukum sebaliknya, karena sebuah sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya. Wallahu A'lam bi Shawab." (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Ibnu Hajar al-Haitami, II/7)
Sementara di Nahdlatul Ulama tidaklah terpaku hanya dalam 1 madzhab, tapi 4 madzhab sebagaimana dalam Qanun Asasi.
Seorang ulama dari kalangan Hanafiyah, Syaikh al-Thahthawi (1231 H), mengutip pendapat dari Syaikh Burhan al-Halabi yang membantah hukum makruh dalam selametan 7 hari:


قَالَ فِي الْبَزَّازِيَّةِ يُكْرَهُ اِتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي اْليَوْمِ اْلأَوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ اْلأُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ فِي الْمَوَاسِمِ وَاتِّخَاذُ الدَّعْوَةِ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَجَمْعِ الصُّلَحَاءِ وَالْقُرَّاءِ لِلْخَتْمِ أَوْ لِقِرَاءَةِ سُوْرَةِ اْلأَنْعَامِ أَوِ اْلإِخْلاَصِ اهـ قَالَ الْبُرْهَانُ الْحَلَبِي وَلاَ يَخْلُوْ عَنْ نَظَرٍ ِلأَنَّهُ لاَ دَلِيْلَ عَلَى اْلكَرَاهَةِ (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح شرح نور الإيضاح 1 / 409)

"Disebutkan dalam kitab al-Bazzaziyah bahwa makruh hukumnya membuat makanan di hari pertama, ketiga dan setelah satu minggu, juga memindah makanan ke kuburan dalam musim-musim tertentu, dan membuat undangan untuk membaca al-Quran, mengumpulkan orang-orang sholeh, pembaca al-Quran untuk khataman atau membaca surat al-An'am dan al-Ikhlas. Burhan al-Halabi berkata:Masalah ini tidak lepas dari komentar, sebab tidak ada dalil untuk menghukuminya makruh[2]" (Hasyiyah al-Thahthawi I/409)
Bantahan ini diperkuat oleh pernyataan Syaikh al-Qari dengan beristinbath pada hadis riwayat Abu Dawud:

قَالَ الْعَلاَّمَةُ الْقَارِي فِي الْمِرْقَاةِ بَعْدَ ذِكْرِ حَدِيْثِ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ الْمَذْكُوْرِ مَا نَصُّهُ هَذَا الْحَدِيْثُ بِظَاهِرِهِ يَرُدُّ عَلَى مَا قَرَّرَهُ أَصْحَابُ مَذْهَبِنَا مِنْ أَنَّهُ يُكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي الْيَوْمِ اْلأَوَّلِ أَوِ الثَّالِثِ أَوْ بَعْدَ اْلأُسْبُوْعِ كَمَا فِي الْبَزَّازِيَّةِ (رفع الاشكال للشيخ اسماعيل اليمني وإبطال المغالاة في حكم الوليمة من أهل الميت بعد الوفاة 4)

"Syaikh al-Qari berkata dalam kitab al-Mirqat, setelah mengutip hadis dari 'Ashim bin Kulaib di atas, bahwa: Hadis ini secara jelas membantah keputusan ulama madzhab kita (Hanafiyah) mengenai larangan membuat makanan pada hari pertama, ketiga atau ketujuh, sebagaimana dalam kitab al-Bazzaziyah"[3]
Syaikh al-Thahthawi kemudian membandingkan antara riwayat atsardari Jarir bin Abdillah tentang larangan membuat makanan oleh keluarga mayat dengan hadis sahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah memenuhi undangan seorang istri sahabat yang wafat dan memakan hidangannya, pada akhirnya al-Thahthawi menyimpulkan:

فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ صُنْعِ أَهْلِ الْمَيِّتِ الطَّعَامَ وَالدَّعْوَةِ إِلَيْهِ بَلْ ذُكِرَ فِي الْبَزَّازِيَّةِ أَيْضًا مِنْ كِتَابِ اْلاِسْتِحْسَانِ وَإِنِ اتَّخَذَ طَعَامًا لِلْفُقَرَاءِ كَانَ حَسَنًا ا هـ (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح شرح نور الإيضاح 1 / 410)

"Hadis ini (riwayat 'Ashim bin Kulaib) menunjukkan diperbolehkannya bagi keluarga yang meninggal untuk membuat makanan dan mengundang orang lain. Bahkan disebutkan dalam kitab al-Bazzaziyah juga secara metode Istihsan, yaitu bila membuatkan makanan untuk orang-orang fakir maka hukumnya bagus" (Hasyiyah al-Thahthawi I/410)


فَائِدَةٌ رَوَى أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ فِي الزُّهْدِ وَأَبُوْ نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ إِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ وَذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عَمِيْرٍ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقَ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَسَنَدُهُ صَحِيْحٌ أَيْضًا وَذَكَرَ ابْنُ رَجَبَ فِي اْلقُبُوْرِ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ اْلأَرْوَاحَ عَلَى الْقُبُوْرِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ يَوْمِ الدَّفْنِ لاَ تُفَارِقُهُ وَلَمْ أَقِفْ عَلَى سَنَدِهِ (الديباج على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
"Ahmad meriwayatkan dalam kitab Zuhud dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah dari Thawus bahwa 'sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut'. Sanad riwayat ini sahih dan berstatus hadis marfu'. Ibnu Juraij menyebutkan dalam kitab al-Mushannaf dari Ubaid bin Amir bahwa 'orang mukmin mendapatkan ujian (di kubur) selama 7 hari, dan orang munafik selama 40 hari'. Sanadnya juga sahih. Ibnu Rajab menyebutkan dalam kitab al-Kubur dari Mujahid bahwa 'arwah berada dalam kubur selama 7 hari sejak dimakamkan dan tidak berpisah'. Tetapi saya tidak menemukan sanadnya" (al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)

[1]  HR Abdurrazzaq No 3606 dan al-Baihaqi No 3202 Al-Hafidz al-Bushiri berkata: "Sanad hadis ini perawinya adalah orang-orang terpercaya" (Ithaf al-Khiyarah II/72)
[2]  Burhan al-Halabi memperbolehkan hal tersebut. Ini menunjukkan bahwa di masa itu sudah ada tradisi mengundang ulama dan orang lain untuk membaca al-Quran yang dihadiahkan bagi para al-Marhum.
[3]  Syaikh Ismail al-Yamani, Raf'ul Isykal Hal. 4