Senin, 27 Januari 2014

Pengertian Bid'ah Menurut Empat Imam Madzhab

Syaikh Prof. Dr. Ali Jum'ah

Penulis: Syaikh Prof. Dr. Ali Jum'ah (Mufti Republik Mesir)
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ‪.
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa'i)
Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.
Definisi Bid'ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).
Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi)
Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.
Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat)
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara'.
Segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah
Pandangan ini dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:
"Amal perbuatan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam:
1.      Bid'ah wajib.
2.      Bid'ah haram
3.      Bid'ah sunah
4.      Bid'ah makruh
5.      Bid'ah mubah
hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)
Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk.
البدعة هو فعل ما لم يسبق إليه فما وافق السنة فحسن وما خالف فضلالة
 (lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).
Definisi Bid'ah Syariat Lebih Khusus
Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah: menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam.
Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa
والمراد بالبدعة : ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً
bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lihat Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)
Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."
Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i--sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi--bahwa beliau berkata,
المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة
"Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW itu ada dua kategori:
1.      Perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah).
2.      Perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela."
(Riwayat Al Baihaqi. Lihat kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya'. 9/113)
Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at.
إنما البدعة المذمومة ما يصادم السنة القديمة أو يكاد يفضي إلى تغييرها
 (Lih.Ihya' Ulumuddin, juz 2, h. 248)
وإنما البدعة المذمومة ما تضاد السنن الثابتة وأما ما يعين على الاحتياط في الدين فمستحسن
Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum),
"Bid'ah itu terbagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh ... "
Di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata,
"Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah)." (lihat An-Nanawi dalam Al Adzkar)
Adapun Ibnu Al Atsir berkata,
"Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji. Dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah."
Karena itu hadits Nabi SAW,
"Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah."
Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya:
Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya--Red)."
Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,
"Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."
Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula,
"Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya."
Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan Umar,
"Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik".
Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.
Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, beliau menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW,
"Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku."
Juga sabda beliau lainnya,
"Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ..."
Adapun hadits nabi SAW,
"Setiap perkara baru adalah bid'ah"
Dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lihat Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)
Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:
  • Bid'ah wajib
    Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."
  • Bid'ah haram
    Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
  • Bid'ah sunah
    Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.
  • Bid'ah makruh
    Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an.
  • Bid'ah mubah
    Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.

    Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:
  1. Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

Ini sebaik-baik bid'ah.

Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata:
Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,

"Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal."

Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

Inilah sebaik-baik bid'ah.

Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam. (HR. Bukhari)
  1. Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik.

    Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
    Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab,

    "Bid'ah".
    (HR. Bukhari dan Muslim)
  2. Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW):

    من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة، ومن سن سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة
"Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama:
  1. Seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
  2. Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.

Wallahu a'lam

. ORANG TUA RASULULLAH SAW


Deskripsi masalah
Akhir-akhir ini senter dibicarkan dimasyarakat Indonesia bahwa ada sebagian golongan yang mengekpos dalam khutbah, ceramah, mas media tentang ketidak islaman ayah dan ibu rasulullah Saw. Hal ini dijadikan bahan untuk memojokkan orang-orang yang berziarah . didalam tafsir ar-rozi memang disebutkan cerita tentang berziarahnya rasulullah Saw. Ke makam ibunya yang dijadikan salah satu dari  beberapa sebab turunya ayat “innaka la tahdi man ahbabta”.
Pertanyaan:
  1. Bagaimanakah yang lebih proporsional tentang hal itu menurut ulama’ ahli thoriqoh?
  2. Bagaimana sikap ahli thoriqoh terhadap golongan yang memanfaatkan hal itu untuk memojokkan orang-orang yang berziarah kubur?
  3. Bagaimana sikap ahli thoriqoh menghadapi orang awam yang mengalami keresahan akibat profokasi itu?
Jawaban:

  1. Pernyataan sebagian kelompok yang mengklaim kekafiran kedua orang tua Nabi Saw. Dengan berlandaskan hadist tentang ziarahnya Nabi Saw. Kemakam ibunda beliau Tidak dapat dibenarkan dikarenakan beberapa alasan:
    1. Hadits tersebut termasuk hadist ahad yang bertentangan dengan nash shorih dari al-qur’an. Dan pernyataan diatas termasuk ungkapan yang menyakiti hati Nabi Muhammad Saw. Dan diancam la’nat oleh allah Swt.
    2. Larangan permintaan ampun dari baginda Nabi Saw. Untuk ibundanya bukan karena sang ibu kafir namun lebih dikarenakan syafaat nabi Saw. tidak untuk kaum yang hidup dimasa fatroh.
    3. Ibunda Nabi Saw. tergolong ahli fatroh  yang tidak berhak untuk mendapatkan taklif  hukum islam.
    4. Imam as-Suyuthy dalam fatawanya menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi Saw. Dihidupkan kembali oleh baginda Nabi Saw. Dan kemudian beriman terhadap Nabi Saw.
    5. Ayat “innaka la tahdi man ahbabta” menurut imam Fakhrur Rozi menuqil dari pendapat az-zujjaj mengungkapkan bahwa ijma’ ulama’ muslimin ayat itu turun dalam masalah abu tholib, namun disana tidak bisa difahami bahwa beliau mati dalam kaedaan kafir.

  1. 1.     الموسوعة اليوسفية لبيان أدلة الصوفية- يوسف خطار – (2 / 380(
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : «استأذنت ربي أن أستغفر لأمي فلم يأذن لي واستأذنته أن أزور قبرها فأذن لي»
وفي رواية أخرى «زار النبي صلى الله عليه وآله وسلم قبر أمه فبكى وأبكى من حوله»
ولا يلزم من البكاء عند القبر عذابها وكفرها بل يمكن تحققه مع النجاة والإسلام فبكاؤه صلى الله عليه وآله وسلم لمزيد شفقته على والديه وقيامه بحقوقهما حق القيام.
  1. 2.     منهاج الوفا في نجاة والدا المصطفى- محمود الزين – (1 / 26)
والدا النبي صلى الله عليه وسلم وأهل الفترة:
وكذلك وردت أحاديث في أفراد من أهل الفترة أنهم في النار، فذهب العلماء الذين اختاروا نجاة عموم أهل الفترة إلى ترجيح العمل بقوله تعالى: {وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً} وذلك كحديث مسلم برقم (203) أن النبي صلى الله عليه وسلم قال للأعرابي: (إن أبي وأباك في النار) لأن الحديث غير المتواتر مهما كان صحيحاً فهو يحتمل التوهم والشذوذ والخطأ بخلاف آيات القرآن الكريم، وكذلك هو يحتمل التأويل ولذلك يرجح العلماء بين الأحاديث، وإن كان كل منها وارداً في الصحيحين كما سبق، والمرجوح محكوم عليه بخطأ الرواية أو شذوذها، أو لزوم التأويل، ولم يجعلوا الحديث مخصصاً للآية؛ لأن سبب دفع العذاب عن أهل الفترة هو عدم وجود الرسول الذي يبلغهم، وهذا السبب موجود في والدي النبي صلى الله عليه وسلم وأهل زمانهما، فإن لم يكن لهما خصوصية تميزهما على أهل زمانهما فلا أقل من أن يكونا مثلهم بخلاف من انتفى عنه السبب، كقول النبي صلى الله عليه وسلم في عمرو بن لحُيٍّ: (إنه رآه يجر قصبه ـ أي أمعاءه ـ في النار) وبين أن سبب ذلك هو أنه أول من غير دين إسماعيل، كما رواه مسلم برقم (2856). ومع أن النووي ـ رحمه الله ـ صرح فيما سبق بأن الذين لم تبلغهم الدعوة لا يعذبون عاد عند هذا الحديث وقال في شرحه: (فيه أن من مات على الكفر فهو في النار، ولا تنفعه قرابة المقربين، وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان فهو من اهل النار، وليس هذا مؤاخذة قبل بلوغ الدعوة، فإن هؤلاء كانت قد بلغتهم دعوة إبراهيم وغيره من الأنبياء ـ صلوات الله عليهم). ورد عليه الأبي في شرحه على مسلم (1/617) فقال: (تأمل ما في كلامه من التنافي، فإن من بلغتهم الدعوة ليسوا بأهل فترة… فأهل الفترة هم الأمم الكائنة بين الذين لم يرسل إليهم الأول، ولا أدركوا الثاني، كالأعراب الذين لم يرسل إليهم عيسى، ولا لحقوا النبي صلى الله عليه وسلم … ولما دلت القواطع على أنه لا تعذيب حتى تقوم الحجة، علمنا أنهم غير معذبين) أي إن القول ببلوغ دعوة إبراهيم إليهم ينافي معنى الفترة، وأقول: بل ينافي قوله تعالى: {ما أنذر آباؤهم فهم غافلون}، وقوله سبحانه: {وما كان ربك ليهلك القرى بظلم وأهلها غافلون}، ومخالف لقول النووي نفسه بأن من لم تبلغه الدعوة لا يعذب، ولقياسه أطفال المشركين على من لم تبلغه الدعوة في كونهم ناجين كما تقدم، ومخالف لقوله في الروضة (10/238: (لا يقاتل من لم تبلغه الدعوة حتى يدعوه) وهي مسألة اتفق عليها الأئمة الأربعة، وقد قال النووي نفسه في حديث مسلم برقم (2661) قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن الغلام الذي قتله الخضر طبع كافراً” : (فيجب تأويله قطعاً… فيتأول على أن معناه: أن الله علم أنه لو بلغ لكان كافراً، لا أنه كافر في الحال، ولا يجري عليه في الحال أحكام الكفار)، وهذا تعليل لأن الخضر قتله بأمر الله، فكانت ثمرة ذلك أن يموت قبل سن التكليف، فلا يحاسب. وأما حديث مسلم برقم (976) في والدة النبي صلى الله عليه وسلم : “استأذنت ربي أن أستغفر لأمي، فلم يأذن لي” فقد قال السيوطي في كتابه الحاوي للفتاوي (2/394) بعد ذكر حديث “إن أبي وأباك في النار”، وبعد ترجيح العمل بعموم قول الله تعالى: {وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً} وغير ذلك من الأدلة، قال: (والحديث الصحيح إذا عارضه أدلة أخرى هي أرجح منه وجب تأويله، وتقديم تلك الأدلة عليه، كما هو مقرر في الأصول، وبهذا الجواب الأخير يجاب عن حديث عدم الإذن في الاستغفار لأمه على أنه يمكن فيه دعوى عدم الملازمة) ثم فسر عدم الملازمة، والتفسير الأقرب مما ذكره هو أن عدم الإذن ليس لأنها كافرة، كما أن عدم الإذن له يوم القيامة في الشفاعة لكل من قال “لا إله إلا الله” ليس لأنهم كفار بدليل قول الله تعالى في الحديث: “ليس ذلك إليك” رواه مسلم برقم عام (193)، وضمن كتاب الإيمان برقم (326)، ومعنى ذلك أن شفاعته صلى الله عليه وسلم لأمته، أما الأمم الأخرى الذين لم يدركوا دعوته فهم في شفاعة الله عز وجل كما قال في الحديث نفسه : ” هذه شفاعتي”، وأمه صلى الله عليه وسلم لم تدرك دعوته، فعسى أن تكون في شفاعة الله عز وجل إما لأنها من أهل التوحيد، وإما لأنها داخلة في عموم عفوه سبحانه عن أهل الفترة في قوله: {وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً}.
وقد استدل السيوطي في الحاوي (2/368) على إيمان أصول النبي صلى الله عليه وسلم بحديث مسلم برقم (2276): “إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل، واصطفى قريشاً من كنانة، واصطفى من قريش بني هاشم“، قال في (2/370): (ومن المعلوم أن الخيرية والاصطفاء والاختيار من الله تعالى، والأفضلية عنده، لا تكون مع الشرك) قلت: أظنه أخذ ذلك من قول الله تعالى: {إنما المشركون نجس} فشتان ما بين النجاسة والاصطفاء الإلهي. وأما الذين يرفضون هذا القول فيؤولون هذا الحديث ونحوه على معنى الاصطفاء في الصفات الإنسانية، والفضائل الخلقية من عقل وحكمة وإنصاف وشجاعة وجود، وكمال خلقة، لكن يقول لهم الأولون: إن من كان ذا عقل وحكمة وإنصاف تأبى شخصيته عبادة الأصنام، ويهديه عقله وحكمته وإنصافه إلى توحيد الله تعالى، أينصفون الناس ويعتدون بالشرك على حقوق رب العالمين؟!
  1. 3.     الحاوي للفتاوي ـ للسيوطى – (ج 2 / ص 197)
تنبيه : ثم رأيت الإمام أبا عبد الله محمد بن خلف الأبي بسط الكلام على هذه المسألة في شرح مسلم عند حديث : ( إن أبي وأباك في النار ) فأورد قول النووي فيه أن من مات كافرا في النار ولا تنفعه قرابة الأقربين ثم قال : قلت انظر هذا الإطلاق وقد قال السهيلي : ليس لنا أن نقول ذلك فقد قال صلى الله عليه وسلم : ( لا تؤذوا الأحياء بسب الأموات ) . وقال تعالى : إن الذين يؤذون الله ورسوله ( ولعله يصح ما جاء أنه صلى الله عليه وسلم سأل الله سبحانه فأحيا له أبويه فآمنا به ورسول الله صلى الله عليه وسلم فوق هذا ولا يعجز الله سبحانه شيء ، ثم أورد قول النووي وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان في النار وليس هذا من التعذيب قبل بلوغ الدعوة لأنه بلغتهم دعوة إبراهيم وغيره من الرسل ، ثم قال : قلت تأمل ما في كلامه من التنافي فإن من بلغتهم الدعوة ليسوا بأهل فترة فإن أهل الفترة هم الأمم الكائنة بين أزمنة الرسل الذين لم يرسل إليهم الأول ولا أدركوا الثاني كالأعراب الذين لم يرسل إليهم عيسى ولا لحقوا النبي صلى الله عليه وسلم والفترة بهذا التفسير تشمل ما بين كل رسولين ، ولكن الفقهاء إذا تكلموا في الفترة فإنما يعنون التي بين عيسى والنبي صلى الله عليه وسلم ، ولما دلت القواطع على أنه لا تعذيب حتى تقوم الحجة علمنا أنهم غير معذبين . فإن قلت : صحت أحاديث بتعذيب أهل الفترة كصاحب المحجن وغيره .
قلت : أجاب عن ذلك عقيل بن أبي طالب بثلاثة أجوبة : الأول : أنها أخبار آحاد فلا تعارض القاطع . الثاني : قصر التعذيب [ على هؤلاء والله أعلم بالسبب . الثالث : قصر التعذيب ] المذكور في هذه الأحاديث على من بدل وغير الشرائع وشرع من الضلال ما لا يعذر به ، فإن أهل الفترة ثلاثة أقسام : الأول : من أدرك التوحيد ببصيرته ثم من هؤلاء من لم يدخل في شريعته كقس بن ساعدة ، وزيد بن عمرو بن نفيل ، ومنهم من دخل في شريعة حق قائمة الرسم كتبع وقومه . القسم الثاني : من بدل وغير وأشرك ولم يوحد وشرع لنفسه فحلل وحرم وهو الأكثر كعمرو بن لحي أول من سن للعرب عبادة الأصنام ، وشرع الأحكام ، فبحر البحيرة ، وسيب السائبة ووصل الوصيلة ، وحمى الحامي وزادت طائفة من العرب على ما شرعه أن عبدوا الجن ، والملائكة ، وحرقوا البنين ، والبنات ، واتخذوا بيوتا جعلوا لها سدنة وحجابا يضاهون بها الكعبة كاللات والعزى ومناة .
القسم الثالث : من لم يشرك ولم يوحد ولا دخل في شريعة نبي ولا ابتكر لنفسه شريعة ولا اخترع دينا بل بقي عمره على حال غفلة عن هذا كله وفي الجاهلية من كان كذلك ، فإذا انقسم أهل الفترة إلى الثلاثة الأقسام فيحمل من صح تعذيبه على أهل القسم الثاني لكفرهم بما لا يعذرون به ، وأما القسم الثالث فهم أهل الفترة حقيقة وهم غير معذبين للقطع كما تقدم . وأما القسم الأول فقد قال صلى الله عليه وسلم في كل من قس ، وزيد : أنه يبعث أمة وحده . وأما تبع ونحوه فحكمهم حكم أهل الدين الذين دخلوا فيه ما لم يلحق أحد منهم الإسلام الناسخ لكل دين ، انتهى ما أورده الأبي .
المسلك الثاني : أنهما لم يثبت عنهما شرك بل كانا على الحنيفية دين جدهما إبراهيم عليه السلام ، كما كان على ذلك طائفة من العرب كزيد بن عمرو بن نفيل ، وورقة بن نوفل ، وغيرهما ، وهذا المسلك ذهبت إليه طائفة منهم الإمام فخر الدين الرازي فقال فيكتابه أسرار التنزيل ما نصه : قيل إن آزر لم يكن والد إبراهيم بل كان عمه واحتجوا عليه بوجوه : منها أن آباء الأنبياء ما كانوا كفارا ويدل عليه وجوه ، منها قوله تعالى : ) الذي يراك حين تقوم وتقلبك في الساجدين ( قيل معناه أنه كان ينقل نوره من ساجد إلى ساجد ، وبهذا التقدير فالآية دالة على أن جميع آباء محمد صلى الله عليه وسلم كانوا مسلمين ، وحينئذ يجب القطع بأن والد إبراهيم ما كان من الكافرين إنما ذاك عمه أقصى ما في الباب أن يحمل قوله تعالى : ) وتقلبك في الساجدين ( على وجوه أخرى . وإذا وردت الروايات بالكل ولا منافاة بينها وجب حمل الآية على الكل ، ومتى صح ذلك ثبت أن والد إبراهيم ما كان من عبدة الأوثان ثم قال : ومما يدل على أن آباء محمد صلى الله عليه وسلم ما كانوا مشركين قوله عليه السلام : ( لم أزل أنقل من أصلاب الطاهرين إلى أرحام الطاهرات ) وقال تعالى : ) إنما المشركون نجس ( فوجب أن لا يكون أحد من أجداده مشركا هذا كلام الإمام فخر الدين بحروفه وناهيك به إمامة وجلالة فإنه إمام أهل السنة في زمانه ، والقائم بالرد على من فرق المبتدعة في وقته ، والناصر لمذهب الأشاعرة في عصره وهو العالم المبعوث على رأس المائة السادسة ليجدد لهذه الأمة أمر دينها وعندي في نصرة هذا المسلك وما ذهب إليه الإمام فخر الدين أمور ، أحدها دليل استنبطته مركب من مقدمتين : الأولى : أن الأحاديث الصحيحة [ دلت ] على أن كل أصل من أصول النبي صلى الله عليه وسلم من آدم إلى أبيه عبد الله فهو من خير أهل قرنه وأفضلهم . والثانية : أن الأحاديث والآثار دلت على أنه لم تخل الأرض من عهد نوح أو آدم إلى بعثة النبي صلى الله عليه وسلم ثم إلى أن تقوم الساعة من ناس على الفطرة يعبدون الله ويوحدونه ويصلون له وبهم تحفظ الأرض ، ولولاهم لهلكت الأرض ومن عليها ، وإذا قارنت بين هاتين المقدمتين أنتج منها قطعا أن آباء النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن فيهم مشرك لأنه قد ثبت في كل منهم أنه من خير قرنه ، فإن كان الناس الذين هم على الفطرة هم إياهم فهو المدعى ، وإن كانوا غيرهم وهم على الشرك لزم أحد أمرين : إما أن يكون المشرك خيرا من المسلم وهو باطل بالإجماع وإما أن يكون غيرهم خيرا منهم وهو باطل لمخالفة الأحاديث الصحيحة فوجب قطعا أن لا يكون فيهم مشرك ليكونوا من خير أهل الأرض كل في قرنه .
  1. تفسير الرازي – (ج 12 / ص 97)
إعلم أن في قوله تعالى : { إِنَّكَ لاَ تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ ولكن الله يَهْدِى مَن يَشَاء } مسائل :
المسألة الأولى : هذه الآية لا دلالة في ظاهرها على كفر أبي طالب ثم قال الزجاج : أجمع المسلمون على أنها نزلت في أبي طالب وذلك أن أبا طالب قال عند موته يا معشر بني عبد مناف أطيعوا محمداً وصدقوه تفلحوا وترشدوا ، فقال عليه السلام « يا عم تأمرهم بالنصح لأنفسهم وتدعها لنفسك! قال فما تريد يا ابن أخي؟ قال أريد منك كلمة واحدة ، فإنك في آخر يوم من أيام الدنيا أن تقول لا إله إلا الله ، أشهد لك بها عند الله تعالى ، قال يا أخي قد علمت أنك صادق ولكني أكره أن يقال جزع عند الموت ولولا أن يكون عليك وعلى بني إبيك غضاضة ومسبة بعدي لقلتها ولأقررت بها عينك عند الفراق لما أرى من شدة وجدك ونصحك ، ولكني سوف أموت على ملة الأشياخ عبد المطلب وهاشم وعبد مناف ».
  1. حاشية السندي على ابن ماجه – (ج 3 / ص 348) محمد بن عبد الهادي السندي (المتوفى : 1138هـ)
 وقد روي أن الله تعالى أحيا للنبي صلى الله عليه وسلم والديه حتى آمنا به والذي يقطع به أنهما في الجنة ومن أقوى الحجج على ذلك أنهما من أهل الفترة وقد أطبق أئمتنا الشافعية والأشعرية على أن من لم تبلغه الدعوة لا يعذب ويدخل الجنة لقوله تعالى { وما كنا معذبين } الآية وقال الحافظ ابن حجر في الإصابة ورد من عدة طرق في حق الشيخ الهرم ومن مات في الفترة ومن ولد أكمه أعمى أصم ومن ولد مجنونا أو طرأ عليه الجنون قبل أن يبلغ ونحو ذلك أن كلا منهم يأتي بحجة ويقول لو عقلت أو ذكرت لآمنت فترفع لهم نار ويقال ادخلوها فمن دخلها كانت له بردا وسلاما ومن امتنع أدخلها كرها ونحن نرجو أن يدخل عبد المطلب وآل بيته في جملة من يدخلها طائعا إلا أبا طالب ا ه
  1. إسعاد الرفيق  الجزء الأول  صـ 55`
(أو كذب رسولا أو نقصه ) بالتخفيف على الافصح أي أتى بما يعد نقصا في نفس رسول أونبي من الرسل أو الأنبياء المجمع عليهم خلقا أو خلقا أو في نسبه كأن يقول أنه عليه الصلاة والسلام ليس من قويش أو في دينه أو في صفة من صفاته أو حقر شأن أحد منهم كأن صغر اسمه أو صفة من صفاته إذا كان بقصد تحقيره لأنه سب لهم
b.    Melarang tindakan profokasi tersebut, karena termasuk idza’ terhadap rasulullah Saw. Dan menjerumuskan masyarakat umum.
  1. 1.     إظهار الحق بوجوب الدفاع عن سيد الخلق(نجاة ابوي النبي)-أحمد منصوراسماعيل قرطام – (1/ 3)
ومما يؤذي رسول الله صلى الله عليه وسلم ويمس من شرف نبوته وشرف نسبه القول بدخول أبويه الشريفين جهنم والعياذ بالله قال تعالى:” إِنَّ الَّذِينَ يُؤذُونَ اللهَ ,ورَسُولَهُ لَعنَهُمُ اللهُ فِى الدُّنيَا ,الأَخِرَةِ ,أَعَدَّ لَهُم عَذَاباً مُّهِيناً ” سورة الأحزاب آية, لسائل أن يسأل ما الفائدة من طرح هذه المسالة أو التكلم فيها أصلا لما فيها من خطر إفساد عقيدة العوام وإثارة الاختلاف في صفوف المسلمين؟ في حين أنها مسألة لم يكلفنا الله بها ولم يتعبدنا بها فلا يضرنا جهلها ولا ينفعنا علمها لأنه لو مات أي إنسان وهو لا يعلم هذه المسألة لا ضير عليه قطعا باتفاق من يعتد به من أكابر علماء أهل السنة والجماعة كالإمام أبي حنيفة ونصه في ذلك صريح في كتابه الفقه الأكبر والإمام مالك والشافعي وأحمد رضى الله عنهم أجمعين.
أما من خالفهم من الخارجين عن الصف القائلين بعذاب أبوى النبي صلى الله عليه وسلم فيروجون فتنتهم لمرض في قلوبهم قال تعالى:” فَأَمَّا الَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم زَيغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنهُ ابتِغَاءَ الفِتنَةِ وَابتِغَاءَ تَأوِيلَهُ ” سورة آل عمران آية (7) وعمدتهم في ذلك حديثين من الآحاد وهما: حديث مسلم عن أبي هريرة مرفوعا: ” أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:” استأذنت ربي أن استغفر لأمي فلم يأذن لي واستأذنته أن أزور قبرها فأذن لي” .ما رواه مسلم أن رجلا قال: يا رسول الله أين أبي قال: في النار فلما قضى دعاه فقال:” إن أبي وأباك في النار ” والمتأمل في هذين الحديثين يستطيع أن يتبين علتهما وذلك لمعارضتهما لصريح القران كقوله تعالى:” وَمَا كُنَا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبعَثَ رَسُولاً ” سورة الاسراء آية  ولقوله تعالى:” ذَلِكَ أَن لَّم يَكُن رَّبُّكَ مُهلِكَ القُرَى بِظُلمٍ وَأَهلُهَا غَافِلُونَ ” سورة الأنعام آية  والقوم الذين بعث فيهم سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم والذين منهم أبويه لم يأتهم نذير قبله لصريح قوله تعالى:” وَمَا أَرسَلنَا إِلَيهِم قَبلَكَ مِن نَّذِيرٍ ” سورة سبأ آية ولقوله تعالى:” لِتُنذِرَ قَوماً مَّا أَتَهُم مِّن نَّذِيرٍ مِّن قَبلِكَ لَعَلَّهُم يَهتَدُونَ ” سورة السجدة آية فمعارضة هذين الحديثين المخالفين لفظاً ومعناً لصريح القرآن الذي هو قطعي الثبوت مع عدم إمكانية الجمعبينهما سقط الاحتجاج بهما وتمسكنا بالقرآن كما هو مقرر وحسب قواعد الشريعة قال الإمام النووي في شرح المهذب ومتى خالف خبر الآحاد نص القرآن أو إجماعا وجب ترك ظاهره والقاعدة عند علماء أهل السنة والجماعة من الأشاعرة والماتُريدية بل وجميع العقلاء أن خبر الآحاد متى عارض الكتاب والسنة المتواترة أو الإجماع المعتبر لفظا ومعنى مع عدم امكانية الجمع بحال سقط الاستدلال به، وكذلك اتفقوا على العمل به في العمليات دون الاعتقاديات، بمعنى أن مسائل العقائد مبنية على القطعيات التي تفيد العلم اليقيني والتي يكفر منكرها بخلاف الآحاد الذي لا يفيد إلا الظن وبالتالي ما ينبني عليه من الاحكام لأن غالبه محل خلاف بين العلماء إلا ما أجمعوا عليه فيرتفع فيه الخلاف لأجل الإجماع وليس لذات الدليل وهذه قاعدة قل من يعلمها ممن ينتسبون للعلم اليوم فمن باب الأولى عامة الناس، وهذا لا يخالف ما قلناه سابقا من أن مسألة نجاة أبوي رسول الله صلى الله عليه وسلم بعينها ليست من المسائل العقائدية. ولكن من العقيدة التي يجب على كل مؤمن أن يعتقدها ولا يجوز له جهلها فضلاً عن إنكارها هي أن أهل الفترة ناجون وإن بدلوا وغيروا بدليل النصوص القرآنية القطعية السابقة الذكر وأبوي النبي صلى الله عليه وسلم من أهل الفترة بلا خلاف.
  1. 2.     كشف الستار -ابو عبدالله محمد المكي – (1 / 21)
قال السيوطي في رسائلهِ التسع قال تعالى { إنما المشركون نجس } ثم قال : فطهارة والديهِ مؤكدة كما أخرج أبو نعيم في الدلائل عن ابن عباس قال : قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – لم يلتق أبواي قط على سفاح لم يزل الله ينقلني من الأصلاب الطيبة إلى الأرحام الطاهرة مُصفىّ مهذبا لا تتشعب شعبتان إلا كنت في خيرهما “) وتُخفي أيضاً قولَ السيوطي :[ الذي عندي انهُ لاينبغي أن يُفهم من قول النووي في شرح مسلم أن من مات في الفترة ممن عبد الاوثان فهو في النار أنهُ أراد أي النووي بذلك الحكم على أبي النبي - صلى الله عليه وسلم - . بل ينبغي أن يفهم انهُ أراد بذلك الحُكم على أبي السائل , وكلامهُ ساكتٌ عن الحكم على الأب الشريف ] انتهى كلام السيوطي رحمهُ الله .فهذا هو فهم السيوطي لكلام الإمام النووي والذي يُخالف فهمك السقيم يا مُدعي الحوار فلعلك بلغت من الفهم والإدراك ما لم يبلغهُ الإمام النووي ! أعود فأقول : ليس الإمام السيوطي الذي تفرد بإعطاء مصير والدي النبي – صلى الله عليه وسلم – هذه الهالة كما تزعم .. ثم انني أعجبُ لك كيف تُخفي قول السيوطي عندما قال: [العجب ممن يقطعُ بكون أبوي النبي - صلى الله عليه وسلم - في النار اعتماداً على قولهِ أمي مع أمكما , وقولِه إن أبي وأباك في النار , ونحوهما من الأحاديث ويُلغي ما عارضها بالكلية ] بل إن الإمام القاضي أبا بكر ابن العربي المالكي شارح سنن الترمذي والذي يقول في جواب على سؤال أن رجلاً قال إن أبا النبي – صلى الله عليه وسلم – في النار فأجاب [ بأنهُ ملعون ] لأن الله تعالى يقول { إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالأخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَاباً مُهِيناً } ثم قال أي ( أبو بكر ابن العربي المالكي) ولا أذى أعظمُ من أن يُقال عن أبيهِ – صلى الله عليه وسلم – [ أنهُ في النار ]. وهذا الأثر ذكرهُ السيوطي الذي تستشهد بكلامهِ يامدعي الحوار في رسائلهِ التسع . وقال السُهيلى في الروض الأنف [ وليس لنا نحن أن نقول هذا في أبويهِ – صلى الله عليه وسلم – بقولهِ – صلى الله عليه وسلم – ( لا تؤذوا الأحياء بسب الأموات )
  1. 3.     بغية المسترشدين – (ج 1 / ص 141)
(مسألة : ي) : يتعين على الإمام أن يستكمل السنن المطلوبة التي ذكرها الفقهاء في حقه ، فلا يزيد فيكون من الفتانين ، ولا ينقص فيكون من الخائنين ، ويتأنى في ذلك ليتمكن الضعيف منها وإلا كره ، ومن تأمل ذلك عرف أن أئمة المساجد الآن مطففون خائنون ، لأنه إذا نقص الإمام عما طلب منه فنقص بسببه المأمومون لأجل متابعته فقد ضمن ما نقص من صلاتهم كما في الحديث وهو من أشد المكروهات ، بل إن اعتقد العوام أن هذه الكيفية هي المطلوبة فقد وقع الإمام في الحرام ، إذ ما يجوز فعله قد يجب تركه إذا خشي من فاعله اقتداء الناس به ، واعتقادهم سنيته وليس بسنة كما نص عليه اهـ
  1. 4.     بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية – (ج 4 / ص 270)
( الثامن والأربعون الفتنة وهي إيقاع الناس في الاضطراب أو الاختلال والاختلاف والمحنة والبلاء بلا فائدة دينية ) وهو حرام لأنه فساد في الأرض وإضرار بالمسلمين وزيغ وإلحاد في الدين كما قال الله تعالى { إن الذين فتنوا المؤمنين والمؤمنات } الآية وقال صلى الله تعالى عليه وسلم { الفتنة نائمة لعن الله من أيقظها } قال المناوي الفتنة كل ما يشق على الإنسان وكل ما يبتلي الله به عباده.
  1. Memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap masyarakat awam tentang kebenaran yang sebenarnya terkait dengan pribadi kedua orang tua Nabi Saw.

  1. اسعاد الرفيق- ( ج 1 / ص 65 )
ويجب عليه أي على كل مكلف بذل النصيحة للمسلمين. قال صلى الله عليه وسلم ” الدين النصيحة. قالوا له لمن؟ قال: لله ورسوله, ولأئمة المسلمين وعامتهم” قال ابن حجر في شرح الأربعين: اي بإرشادهم لمصالحهم في أمرآخرتهم ودنياهم وإعانتهم عليها بالقول والفعل, وستر عورتهم, وسد خلاتهم, ودفع المضار عنهم, وجلب المنافع لهم, وأمرهم بالمعروف, ونهيهم عن المنكر بشروطه المقرّرة في محلها, وتوقير كبيرهم, ورحمة صغيرهم, وتعهدهم بالموعظة, وترك غشهم وحسدهم, وأن يحب لهم مايحب لنفسه من الخير: ويكره لهم ما يكره لنفسه من الشر, والذبّ عن أموالهم وأعراضهم وحثهم على التخلق بجميع ما كان عليه السلف الصالح رضي الله عنهم. ومنها أمر كل من رآه منهم تاركا لشيء من واجبات الدين أو مخلا بشيء منها بأن لا يأتي بجميع شروطه وأركانه أويأتي بها ولكن على غير وجهها المطلوب أن يؤتي بها عليه فيذكره له في خلوة بينه وبينه. قال في النصائح: فان لم يوفق لذلك فهو لنقص فيه, فلا ينبغي أن يضم اليه نقصا أخر أقبح منه, وهو هتكه وذكر عيوبه للناس في غيبته, وكان السلف اذا أرادوا نصح أحد وعظوه سرا حتى قال بعضهم: من وعظ أخاه سرّا فقد نصحه, ومن  وعظه على رءوس الناس فقد ذبحه, وقيل المؤمن يستر ونصح, والفاجر يهتك ويعير.

Minggu, 26 Januari 2014

Batasan menggauli istri yang sedang haid

Batasan menggauli istri yang sedang haid

Oleh Siroj Munir pada 27 Januari 2014 pukul 3:11
Soal: Assalamualaikum, pertanyaan titipan: Ada seorang istri yg sedang haid/mens. Dia "mengajak" suaminya tuk meredam hasratnya yg sedang bergejolak dimana saat itu si istri sedang "ingin" berat. Bolehkah si suami menggesek2an anunya dibagian luar farji istrinya tanpa dimasukkan? Dan batasan-batasan mana saja si suami boleh istimta' pada istrinya yang sedang haid? Maaf kl ada bahasa yang kurang pas, atas jawaban dan ibarotnya terimakasih.
(Pertanyaan dari: Ibnu Lail)

Jawab: Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
     Seorang suami diperbolehkan istimta' (bersenang-senang) dengan seorang istri yang sdang haid kecuali berhubungan intim, dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ
"Kerjakanlah segala sesuatu kecuali nikah." (Shahih Muslim, no.302)
     Sedangkan istimta' dengan melakukan persentuhan kulit dengan seorang istri yang sedang haid pada bagian diantara pusar dan lutut hukumnya diperselisihkan diantara ulama';

1. Menurut pendapat yang ashoh (paling shahih) dan diikuti oleh mayoritas ashhab madzhab syafi'i  hukumnya haram.
     Diantara dalilnya adalah hadits;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ أَنْ يُبَاشِرَهَا أَمَرَهَا
أَنْ تَتَّزِرَ فِي فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ  النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ
 إِرْبَهُ
    "Dari 'Aisyah ia berkata, "Jika salah seorang dari kami sedang mengalami haid dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkeinginan untuk bermesraan, beliau memerintahkan untuk mengenakan kain, lalu beliau pun mencumbuinya." 'Aisyah berkata, "Padahal, siapakah di antara kalian yang mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menahan." (Shahih Bukhari, no.291).
    Dan hadits;
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمَّا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ وَهِيَ حَائِضٌ قَالَ فَقَالَ مَا فَوْقَ الْإِزَارِ
    "Dari Mu'adz bin Jabal saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang apa yang dibolehkan bagi seorang suami terhadap istrinya yang sedang haidl. Maka beliau menjawab: "Boleh apa yang ada di atas kain sarung." (Sunan Abu Dawud, no.183).
    Selain itu istimta' pada bagian diantara pusar dan lutut dapat memicu terjadinya hubungan intim, karena itulah dilarang melakukan istimta' pada bagian tersebut. Hal ini didasarkan pada hadits nabi;
مَنْ حَامَ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ
“Siapa yang berada di sekitar batasan yang diharamkan maka ditakutkan dia akan terperosok ke dalamnya.” (Shahih Bukhari, no.1910 dan Shahih Muslim, no.2996)

2.    Menurut sebagain ulama' hal tersebut diperbolehkan asalkan tidak sampai melakukan hubungan intim. Pendapat ini yang dipilih oleh imam nawawi dan beliau menyatakan bahwa dalilnya lebih kuat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan imam muslim diatas, yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ
   "Kerjakanlah segala sesuatu kecuali nikah." (Shahih Muslim, no.302)

3.    Sebagian ulama' lainnya mengambil jalan tengah, mereka berpendapat bahwa hal tersebut diperbolehkan apabila memang ia yakin bahwa dirinya mampu mengontrol nafsunya sehingga tidak sampai melakukan hubungan intim, sebaliknya jika ia tidak mampu maka hal tersebut dilarang. Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang baik.
     Kesimpulannya, batasan menggauli wanita yang sedang haid adalah selama tidak melakukan hubungan intim, sedangkan melakukan istimta' dengan cara seperti ditanyakan diatas hukumnya diperselisihkan diantara ulama', menurut mayoritas ulama' hukumnya haram, sebagian lainnya menyatakan boleh dan ada juga yang memperbolehkannya hanya bagi orang yang mampu mengontrol syahwatnya. Wallahu a'lam.
     (Dijawab oleh: Mahrusalfaqir Ilaafwirabbihi, Muhammad Fawwaz Kurniawan dan Siroj Munir)

Referensi:
1. Al Majmu’ Syarah Al-mUhadzdzab, juz 2  hal.  362-364
قال المصنف رحمه الله تعالى: [ويحرم الاستمتاع فيما بين السرة والركبة  وقال أبو اسحق لا يحرم غير الوطئ
في الفرج لقوله صلى الله عليه وسلم  (اصنعوا كل شئ غير النكاح)  ولانه وطئ  حرم للاذى  فاختص به كالوطئ في الدبر والمذهب الأول لما  روى عمر رضي الله عنه قال سألت  رسول الله صلى الله عليه وسلم
 ما يحل للرجل من امرأته وهي حائض فقال (ما فوق الازار) ]
[الشرح] أما الحديث الأول فبعض حديث:  روى أنس رضي الله عنه أن اليهود كانت  إذا حاضت منهم المرأة أخرجوها من البيت ولم يؤاكلوها ولم يجامعوهن  في البيت فسأل أصحاب  رسول الله صلى الله عليه وسلم النبي صلى الله عليه وسلم فأنزل  الله عز وجل  ويسألونك عن المحيض) الآية: فقال  رسول الله صلى
الله عليه وسلم (اصنعوا كل شئ إلا النكاح) رواه مسلم وأما حديث  عمر رضي الله عنه  فرواه ابن ماجه والبيهقي بمعناه وفي الصحيحين عن عائشة رضي الله عنها  قالت (كانت  إحدانا  إذا كانت حائضا  فأراد رسول الله صلى الله عليه وسلم  إن يباشرها أمرها  أن تتزر ثم يباشرها  قالت وأيكم يملك إربه: كما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يملك إربه) وعن ميمونة  رضي الله عنها  نحوه  رواه البخاري ومسلم  وفي رواية (كان يباشر نساءه فوق الإزار) يعني في الحيض والمراد  بالمباشرة  هنا  التقاء البشرتين  على أي وجه كان (أما) حكم المسألة ففي مباشرة الحائض بين السرة والركبة ثلاثة أوجه أصحها عند جمهور الأصحاب
 أنها حرام وهو المنصوص للشافعي رحمه الله في الأم  والبويطي وأحكام القرآن  قال صاحب الحاوي  وهو قول أبي العباس وأبي علي بن أبي هريرة وقطع به جماعة من أصحاب المختصرات واحتجوا له  بقوله تعالى: (فاعتزلوا النساء في المحيض) وبالحديث المذكور ولان ذلك حريم للفرج: ومن يرعى حول الحمى يوشك أن يخالط الحمى وأجاب القائلون بهذا عن حديث أنس المذكور بأنه محمول على القبلة ولمس الوجه واليد ونحو ذلك مما هو معتاد لغالب الناس فإن غالبهم إذا لم يستمتعوا بالجماع استمتعوا بما ذكرناه لا بما تحت الاوزار والوجه الثاني أنه ليس بحرام وهو قول أبي اسحاق المروزى وحكاه صاحب الحاوي عن أبي علي بن  خيران ورأيته أنا مقطوعا به في كتاب اللطيف لأبي الحسن بن خيران من أصحابنا وهو غير أبي علي بن خيران واختاره صاحب الحاوي في كتابه الإقناع  والروياني في الحلية  وهو الأقوى من حيث  الدليل  لحديث أنس رضي الله عنه فإنه  صريح  في الإباحة  وأما مباشرة  النبي  صلى الله عليه وسلم  فوق الإزار  فمحمولة على الاستحباب جمعا بين قوله صلى الله عليه وسلم وفعله وتأول هؤلاء الازار في حديث عمر رضى الله عنه على أن المراد به الفرج بعينه ونقلوه عن اللغة  وأنشدوا فيه شعرا  وليست مباشرة  النبي صلى الله عليه وسلم فوق الإزار تفسيرا للإزار في حديث عمر رضي الله عنه بل هي محمولة على الاستحباب كما سبق والوجه الثالث إن وثق المباشر تحت الإزار بضبط نفسه عن الفرج لضعف شهوة أو شدة ورع جاز وإلا فلا حكاه صاحب الحاوي ومتابعوه عن أبي الفياض البصري وهو حسن

2. Asnal Matholib, juz 1  hal. 100-101

(وكذا) يحرم (وطء) في فرجها ولو بحائل (وما) أي واستمتاع (بين السرة والركبة) أي بما بينهما لآية {فاعتزلوا النساء في المحيض} [البقرة:٢٢٢] ولخبر أبي داود بإسناد جيد «أنه - صلى الله عليه وسلم - سئل عما يحل للرجل من امرأته وهي حائض فقال ما فوق الإزار» وخص بمفهومه عموم خبر مسلم «اصنعوا كل شيء إلا النكاح» ولأن الاستمتاع بما تحت الإزار يدعو إلى الجماع فحرم لأن «من حام حول الحمى يوشك أن يقع فيه» واختار النووي تحريم الوطء فقط لخبر مسلم السابق  بجعله مخصصا لمفهوم خبر أبي داود –إلى أن قال- (ووطؤها في الفرج) عالما عامدا مختارا (كبيرة) كما في المجموع هنا والروضة في الشهادات عن الشافعي (يكفر مستحله) كما في المجموع عن الأصحاب وغيرهم (لا جاهلا) ولا ناسيا ولا مكرها فلا يحرم لخبر «إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه» وهو حسن رواه البيهقي وغيره.

link asal
http://www.fikihkontemporer.com/2014/01/batasan-menggauli-istri-yang-sedang-haid.html

Zakat untuk masjid


Berikut Hasil keputusan LBM PWNU Jatim di Bangkalan 30 Syawwal 1431 H/9 Oktober 2010 MBeberapa tahun belakangan ini, kian terlihat bertambah kencang polemik dan perselisihan dikalangan warga NU dibeberapa daerah dalam hal penerapan golongan sabilillah dalam asnaf mustahiq zakat. Hal ini dipicu karena ketidakseragaman dasar mereka dari hasil keputusan hukum yang disosialisasikan oleh jam’iyah NU secara kelembagaan.
Sebagaimana diketahui dari penuturan ulama’ salaf (madzhab al-arba’ah) bahwa yang dimaksud “sabilillah” dalam asnaf mustahiq zakat adalah “ghuzzat” (para tentara perang sabil), terkecuali wacana pendapat yang telah dinuqil oleh imam Qoffal dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa kata sabilillah itu bisa bermakna luas mencakup seluruh jalur sektor kebaikan (wujuh/jihah khair).
Sejak awal berdiri, NU sudah mengambil langkah tegas dan antisipasi melalui keputusan no.5 dalam Muktamar NU pertama di Surabaya tanggal 21 oktober 1926, bahwa “Tidak diperbolehkan mentasharufkan zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok-pondok dengan mengatasnamakan sabilillah dengan berdasar pada kutipan imam Qoffal, sebab pendapat yang dikutip imam Qoffal tersebut adalah dlo’if”. (lihat Ahkamul Fuqoha’: 1/09 – CV. Toha Putra Semarang 1960)
Namun, hasil keputusan masalah serupa diambil oleh PWNU jatim di era-era berikutnya ternyata berbicara lain. Dalam data hasil keputusan Bahtsul Masail PWNU yang dilaksanakan di PP. An-Nur Tegalrejo Nganjuk tahun 1981, di PPAI Ketapang Malang tahun 1987 dan di PP. Langitan Tuban tahun 1988, semuanya menyimpulkan bahwa : “Hukumnya ada dua alternatif, yakni tidak boleh dengan merujuk keputusan Muktamar 1926 dimaksud. Dan yang kedua diperbolehkan dengan dasar mengikuti pendapat kutipan imam Qoffal dan fatwa Syekh Moh. Ali Al-Maliki dan ulama-ulama yang lain”. (lihat CD hasil keputusan Bahtsul Masail PWNU Jatim 1979-1994, 1996 dan 2002)
Pertanyaan:
Pendapat siapakah sebenarnya yang dikutip oleh Imam Qoffal tersebut? Dan seberapa mu’tabar pendapatnya dalam takaran madzhab?
Jawaban:
Belum diketahui secara pasti siapa yang dimaksud oleh Imam Qoffal tersebut, namun ada kemungkinan besar mengarah pada Imam Hasan dan Imam Anas bin Malik. Sedangkan pendapat tersebut menurut Jumhur ulama tidak mu'tabar. Pendapat ini didukung oleh mufti Hadramaut karena pendapat tersebut di luar lingkup madzhab empat. Namun ada juga yang sependapat dengan pendapat kutipan Imam Qaffal, seperti Syeikh Hasanain Makhluf dan ulama mu'ashirin Mesir yang memfatwakan dan memilih pendapat tersebut.
Dasar Pengambilan Hukum:
فتاوى شرعية وبحوث إسلامية حسنين محمد مخلوف ص 255
الجواب) إن من مصارف الزكاة الثمانية المذكورة فى قوله تعالى: {إنما الصدقات للفقراء} إلى آخر الآية إنفاقها {فى سبيل الله} وسبيل الله عام يشمل جميع وجوه الخير للمسلمين من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد وتجهيز الغزاة فى سبيل الله، وما أشبه ذلك مما فيه مصلحة عامة للمسلمين كما درج عليه بعض الفقهاء واعتمده الإمام القفال من الشافعية ونقله عنه الرازى فى تفسيره وهو الذى نختاره للفتوى. وبناء عليه لا مانع من صرف زكاة النقدين والحبوب والماشية وكذا زكاة الفطر فى الأغراض المشار إليها فى السؤال لما فيها من المصلحة الظاهرة للمسلمين خصوصا فى هذه الديار. وأما جلود الأضاحى فلا وجه للتوقف فى صرفها فى هذه المشروعات التى تعود بالخير على المسلمين إذا تصدق بها المضحون فى ذلك، والله تعالى أعلم
فتاوى الأزهر - (ج 1 / ص 139)
جواز صرف الزكاة فى بناء المساجد اطلعنا على هذا السؤال ونفيد أنه يجوز صرف الزكاة لبناء المسجد ونحوه من وجوه البر التى ليس فيها تمليك أخذا برأى بعض فقهاء المسلمين الذى أجاز ذلك استدلالا بعموم قوله تعالى {وفى سبيل اله} من آية {إنما الصدقات للفقراء والمساكين} الآية وإن كان مذهب الأئمة الأربعة على غير ذلك وما ذكرناه مذكور فى تفسير هذه الآية للإمام فخر الدين الرازى ونص عبارته (واعلم أن ظاهر اللفظ فى قوله وفى سبيل اللّه لا يوجب القصر على كل الغزاة فلهذا المعنى نقل القفال فى تفسيره عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد لأن قوله وفى سبيل اللّه عام فى الكل) انتهت عبارة الفخر ولم يعقب رحمه اللّه على ذلك بشىء وقد جاء فى المغنى لابن قدامة بعد أن قال ولا يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر اللّه تعالى من بناء المساجد والقناطر والجسور والطرق فهى صدقة ماضية والأول أصح لقوله سبحانه وتعالى إنما الصدقات للفقراء والمساكين وإنما للحصر والإثبات تثبت المذكور وتنفى ما عداه انتهى
 وظاهر أن أنسا والحسن يجيزان صرف الزكاة فى بناء المسجد لصرفها فى عمل الطرق والجسور وما قاله ابن قدامة فى الرد عليهما غير وجيه لأن ما أعطى فى الجسور والطرق مما أثبتته الآية لعموم قوله تعالى {وفى سبيل الله} وتناوله بكل وجه من وجوه البر كبناء مسجد وعمل جسر وطريق. ولذلك ارتضاه صاحب شرح كتاب الروض النضير إذ قال. وذهب من أجاز ذلك أى دفع الزكاة فى تكفين الموتى وبناء المسجد إلى الاستدلال بدخولهما فى صنف سبيل اللّه إذ هو أى سبيل اللّه طريق الخير على العموم وإن كثر استعماله فى فرد من مدلولاته وهو الجهاد لكثرة عروضه فى أول الإسلام كما فى نظائره ولكن لا إلى حد الحقيقة العرفية فهو باق على الوضع الأول فيدخل فيه جميع أنواع القرب على ما يقتضيه النظر فى المصالح العامة والخاصة إلا ما خصه الدليل وهو ظاهر عبارة البحر فى قوله قلنا ظاهر سبيل اللّه العموم إلا ما خصه الدليل انتهت عبارة الشرح المذكور. والخلاصة أن الذى يظهر لنا هو ما ذهب إليه بعض فقهاء المسلمين من جواز صرف الزكاة فى بناء المسجد ونحوه فإذا صرف المزكى الزكاة الواجبة عليه فى بناء المسجد سقط عنه الفرض وأثيب على ذلك واللّه أعلم
فتح الإله المنان فتاوى أبو بكر باغيثان 76- 70
سئل ( رحمه الله تعالى ) هل تخرج شيء من زكاة المال أي النقد في المشاريع الخيرية كبناء مساجد أو عمارتها أو بناء مدارس أو الانفاق عليها ، أو أي شيء من المرافق العامة والنافعة للمسلمين، هل يجوز إخراج شيء لهذه الغايات ، وما هو مقدار الذي يصرف من الزكاة لهذه الغايات ، كما بلغنا أن علماء الأزهر أو غيرهم أفتوا بالجواز فما هو الحجة والدليل، وهل يجوز نقل زكاة المال من بلد الى آخر ، والمستحقين للزكاة في البلد الذي فيها المال الموجودين ....... الخ ؟ أفتونا مأجورين .( فأجاب بقوله) الحمد لله و صلى الله على سيدنا محمد و على آله و صحبه ، الجواب لا يجوز صرف الزكاة في شيء مما ذكره السائل من بناء المساجد و عمارتها ، أو بناء المدارس أو الانفاق عليها أو غير ذلك من المشاريع الخيرية وذلك لأن الله سبحانه و تعالى بنفسه في محكم كتابه تولى قسم الصدقات و لم يكل قسمتها إلى أحد غيره فجزأها لهؤلاء المذكورين بقوله { إنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله والله عليم حكيم (60) } التوبة .
وإنما للحصر والإثبات تثبت المذكور وتنفي ما عداه ، لأنها مركبة من حرفي نفي و إثبات –الى أن قال- فلا يجوز صرفها الى غير من ذكر الله تعالى في كتابه مما ذكرالى أن قال- قال : في الشرح الكبير على متن المقنع من كتب الحنابلة ، ولا نعلم خلافا بين أهل العلم في أنه لا يجوز دفع هذه الزكاة الى غير هذه الأصناف الا ما روي عن أنس والحسن انهما قالا ما أعطيت في الجسور و الطرقات فهي صدقة ماضيه، قال والصحيح الأول ، لأن الله تعالى قال { إنما الصدقات .... الخ } ومثله في المغني لابن قدامة من كتبهم،
وقد فسر الأئمة الأربعة الأصناف المذكورة في كتاب الله تعالى بتفاسير معروفة ، ومع اختلاف في بعضها ليس فيها ما يفيد شمول أحدها للمصالح العامة مما ذكره السائل ، نعم رأيت بأسفل مغني ابن قدامة الحنبلي المطبوع بأسفله الشرح الكبير على متن المقنع الذي اشرف على تصحيح طبعه السيد محمد رشيد رضا ، صاحب مجلة المنار على قول المقفع و شرحه السابع (في سبيل الله) وهم الغزاة الذين لا ديوان لهم هذا الصنف السابع من أصناف الزكاة و لا خلاف في استحقاقهم و بقاء حكمهم –الى أن قال- رأيت عن السيد محمد رشيد رضا على قول الشرح المذكور لأن سبيل الله عند الإطلاق هو الغزو ، ما لفظه هذا غير صحيح بل سبيل الله هو الطريق الموصل الى مرضاته و جنته و هو الإسلام في جملته ، وآيات الإنفاق في سبيل الله تشمل جميع أنواع النفقة المشروعة –الى أن قال- فلعل من قال بجواز دفع الزكاة الى من ذكر السائل من علماء الأزهر و غيرهم أخذ بقول السيد رشيد رضا هذا ، و لكن هذا مخالف لما قاله أهل المذاهب المعمول بها كما رأيته فيما نقلناه عن الشرح المذكور .
مواهب الفضل من فتاوى با فضل 38-41
في الزكاة ما قولكم ، رضي الله عنكم ، في إخراج الزكاة لنحو بناء مسجد و مدرسة و معهد ، و لنحو فرش المسجد ، و غيرها ، من المصالح العامة ، بدعوى أنها داخلة في سبيل الله ؟ و يقال إن القفال من الشافعية نقل عن بعض الفقهاء ، أنهم أجازوا صرف الزكاة إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى و بناء الحصون و عمارة المساجد ، لأن ذلك كله في سبيل الله ...... ؟ انتهى ما قيل عن القفال ، أفتونا أثابكم بما قاله العلماء في الموضوع على اختلاف المذاهب و الأقوال ، فإن المسألة واقعة حال والناس ما عندهم ورع و لا تورع ، و أحضرت الأنفس الشح ، و كلما عرض عليهم مشروع خيري أعطوه و حسبوه من الزكاة ، والله أعلم ! الحمد لله الجواب والله الهادي للصواب : لا يجوز إخراج الزكاة إلى ما ذكره السائل في السؤال من نحو بناء مسجد و غيره من المصالح العامة كما في الأنوار و المغني لابن قدامة الحنبلي لتعين صرفها إلى مستحقيها و لاتفاق الأئمة الأربعة رحمهم الله تعالى على عدم جواز إخراجها لذلك . قالوا : و المراد بقوله تعالى ( و في سبيل الله ) الغزاة ، إلا الإمام أحمد في أظهر روايتيه فإنه جعل من الحج كما نص عليه الإمام الشعراني في الميزان و الشيخ محمد بن عبد الرحمن الدمشقي العثماني الشافعي في كتابه كتاب الرحمة و الإمام النواوي رضي الله عنهم .
لكن قال الشيخ ابن حجر رحمه الله في التحفة : إن الحديث الذي استدل الإمام أحمد مخالف لما عليه أكثر العلماء ، و أجابوا عنه بعد تسليم صحته التي زعمها الحاكم ، و إلا فقد طعن فيه غير واحد ، بأن في مسنده مجهولا و عنعنة مدلس و بأن فيه اضطرابا بأنا لا نمنع أنه يسمى بذلك . و إنما النزاع في سبيل الله في الأية، و قوله ( لا تحل الصدقة إلا لخمسة ) و ذكر منها الغازي في سبيل الله صريح في أن المراد بهم فيها من ذكرناه إلى آخر ما أطال به في ذلك. و ما يقال عن القفال عن بعض الفقهاء مما ذكره السائل لم نره عنه فيما بأيدينا من المصادر . نعم، رأيت ذلك في تفسير الخازن عن بعض الفقهاء و قال بعده والقول الأول هو الصحيح لإجماع الجمهور عليه .
و لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربعة كما نص عليه ابن الصلاح و نقل الإجماع عليه أي حتى في العمل لنفسه لعدم الثقة بنسبتها لأربابها بأسانيد تمنع التحريف و التبديل ، وعليه فمن قلد غير الأئمة الأربعة في إخراج الزكاة و صرفها إلى غير مستحقيها من نحو بناء مسجد أو غيره من المصالح العامة مثلا لا تبرأ ذمته منها و يأثم إثما عظيما لأن صرفها لغير مستحقيها مما ذكره السائل كمنعها لأنه خالف الكتاب و السنة و إجماع العلماء في قولهم إن المراد بقوله تعالى : ( و في سبيل الله ) هم الغزاة و إليك الأدلة من كلامهم. قال في الأنوار : و لا يجوز الصرف في كفن الميت و دفنه و في بناء المسجد .... ( اهـ )
قال الكمثيري في حاشيته عليه لتعين صرفها إلى مستحقيها . و قال الشيخ ابن قدامة الحنبلي في مغنيه ما لفظه : و لا يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر الله تعالى ، من بناء المساجد و القناطر و السقايات و إصلاح الطرقات و سد البثوق و تكفين الموتى و التوسعة على الأضياف و أشباه ذلك من القرب التي لم يذكرها الله تعالى ... اهـ. ثم استدل لذلك بقوله تعالى : ( إنما الصدقات للفقراء و المساكين ...) ، قال و إنما للحصر و الإثبات تثبت المذكور و تنفي ما عداه اهـ . و قال الإمام الشعراني في الميزان : اتفق الأئمة الأربعة على أنه لا يجوز إخراج الزكاة لبناء مسجد أو تكفين . ثم قال : و من ذلك قول الأئمة الثلاثة، إن المراد بقوله تعالى ( و في سبيل الله ) الغزاة مع قول أحمد في أظهر روايتيه أن منه الحج اهــ .
و قال الشيخ محمد الدمشقي في كتابه ( كتاب الرحمة ) بهامش الميزان : واتفقوا على أنه لا يجوز دفعها إلى عبده ثم قال : و اتفقوا على منع الإخراج لبناء مسجد أو تكفين ميت اهــ . و المراد بهم في قوله " واتفقوا " الأئمة الأربعة . و قال أيضا في كتاب الرحمة بعد عد بعض الأصناف ( و في سبيل الله ) الغزاة . و قال أحمد في أظهر الروايتين : الحج من سبيل الله اهـ . و قال الإمام النواوي في المجموع : و مذهبنا أن سهم سبيل الله المذكور في الآية الكريمة يصرف إلى الغزاة الذين لا حق لهم في الديوان ، بل يغزون متطوعين . و به قال أبو حنيفة و مالك رحمهما الله تعالى . و قال أحمد رحمه الله تعالى في أصح الروايتين عنه : يجوز صرفه إلى مريد الحج . و روي مثله عن ابن عمر رضي الله عنهما اهـ.
و قال السيد الإمام عبد الرحمن المشهور في بغية المسترشدين ما مثاله : مسألة ش نقل ابن الصلاح الإجماع على أنه لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربعة، أي حتى العمل لنفسه فضلا عن القضاء والفتوى، لعدم الثقة بنسبتها لأربابها بأسانيد تمنع التحريف والتبديل، كمذهب الزيدية المنسوبين إلى الإمام زيد بن علي بن الحسين السبط رضوان الله عليهم، وإن كان هو إماما من أئمة الدين، وعلما صالحا للمسترشدين، غير أن أصحابه نسبوه إلى التساهل في كثير لعدم اعتنائهم بتحرير مذهبه، بخلاف المذاهب الأربعة فإن أئمتها جزاهم الله خيرا بذلوا نفوسهم في تحرير أقوالها، وبيان ما ثبت عن قائلها وما لم يثبت، فأمن أهلها التحريف، وعلموا الصحيح من الضعيف اهـ
بغية الطالب للشيخ عبد الله الهرري 386-387 (دار المشاريع)

فدلنا حديث النبي وهو المبين لما أنزل الله في كتابه أن المراد بقول الله تعالى ( و في سبيل الله ) في آية الصدقات بعض أعمال البر لا كلها وهو الجهاد. و يدخل في سبيل الله عند الإمام أحمد من يريد الحج وهو فقير. و لم يقل إن كلمة ( و في سبيل الله ) تعم كل مشروع خيري أحد من الأئمة المجتهدين إنما ذلك ذكره بعض الحنفية من المتأخرين ليس من أصحاب أبي حنيفة الذين هم مجتهدون فحرام أن يؤخذ بقول هذا العالم . فليحذر من هؤلاء الذين يلمون أموال الزكوات باسم المستشفى أو بناء جامع أو بناء مدرسة هؤلاء حرام عليهم و حرام على الذين يعطونهم لأنه لو كان كل عمل خيري يدخل في قوله تعالى ( و في سبيل الله 60 ) سورة التوبة، ما قال الرسول (( ليس فيها حق لغني و لا لقوي مكتسب )) . و هؤلاء خالفوا الإجماع و قد نقل ابن حزم الإجماع على أنه لا يجوز دفع الزكاة لبناء المساجد، و الإجماع هو إجماع المجتهدين و لا يعتد في الإجماع بقول العلماء الذين لم يصلوا إلى مرتبة الإجتهاد كصاحب البدائع الكاساني الحنفي فإنه فسر في سبيل الله بجميع أعمال الخير، وصاحب البدائع هذا هو مقلد في المذهب الحنفي ابتدع ما ليس من المذهب وهو بعيد من مرتبة الاجتهاد فلا يعتبر قوله حجة في دين الله و تبعه بعض أهل العصر الذين لا يعتد بهم فهؤلاء لا يكونون حجة عند الله يوم القيامة . ولو كان يجوز دفع الزكاة لكل عمل خيري ما قال رسول الله في حديثه الصحيح المشهور (( تؤخذ من أغنيائهم و ترد إلى فقرائهم )) أما مطلق الأعمال الخيرية فتجوز في الغنى و الفقير وإن كانت التصدق على الفقير أفضل .