Beberapa waktu yang lalu, setelah kami menulis status tentang dalil-dalil
bolehnya dzikir Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000, dan bahwa hal
tersebut tidak termasuk tasyabbuh yang dilarang, ada sebagian Wahabi yang
menulis bantahan, dan mengutip dari kitab al-Istinfar karya Syaikh Ahmad
al-Ghumari, dan al-Bidayah wa al-Nihayah karya al-Hafizh Ibnu Katsir
al-Syafi’i. akan tetapi setelah kami lihat, ternyata argument bantahan tersebut
sama sekali tidak mengena terhadap persoalan yang dibahas. Oleh karena itu, di
sini kami tulis jawaban secara ilmiah.
WAHABI: Kita tidak boleh shalat ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat
terbenam karena matahari terbit dan terbenam antara dua tanduk setan, dan orang
kafir sujud pada saat itu, maka kita dilarang tasyabbuh kepadanya.
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ
قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
"Lakukan
shalat Subuh kemudian berhentilah shalat sampai terbitnya matahari hingga dia
agak naik meninggi, karena matahari itu terbit antara dua tanduk setan dan saat
itulah orang-orang kafir sujud.:
Kemudian beliau juga bersabda di hadits yg sama:
ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ،
فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا
الْكُفَّارُ
"Kemudian hentikan shalat sampai terbenam matahari karena dia terbenam
antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir bersujud."
SUNNI: “Sholat memang beda dengan dzikir dan Tahlilan. ketika matahari tepat
terbit dan matahari tepat terbenam, sholat sunnah tidak boleh dilakukan. Tetapi
untuk dzikir dan tahlilan justru dianjurkan. Dalam kitab-kitab dijelaskan:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
من صلى الفجر فى جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم يصلى ركعتين كانت له
كأجر حجة وعمرة تامة تامة تامة رواه الترمذى وقال حسن غريب
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barang siapa yang menunaikan shalat fajar (shubuh), kemudian duduk
berdzikir kepada Allah hingga Matahari terbit, kemudian shalat dua raka’at,
maka ia memperoleh pahala seperti pahala haji dan umroh sempurna sempurna
sempurna.” (HR al-Tirmidzi, [586], dan berkata ini hadits hasan gharib).
عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَعَدَ فِى مُصَلاَّهُ
حِينَ يَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكْعَتَىِ الضُّحَى
لاَ يَقُولُ إِلاَّ خَيْرًا غُفِرَ لَهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ
زَبَدِ الْبَحْرِ ». أخرجه أبو داود ، والطبرانى ، والبيهقى . وأخرجه أيضًا : أحمد
“Dari Sahal bin Mu’adz bin Anas al-Juhani, dari ayahnya, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang duduk di tempat
shalatnya ketika selesai shalat shubuh sampai menunaikan dua rakaat shalat
dhuha, ia tidak berkata kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya diampuni meskipun
lebih banyak dari pada buih di lautan.” (HR. Abu Dawud [1287], al-Thabarani
[442], al-Baihaqi [4686] dan Ahmad [15661]).
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لأَنْ أَقْعُدَ أَذْكُرُ اللهَ وَأُكَبِّرُهُ وَأَحْمَدُهُ
وَأُسَبِّحُهُ وَأُهَلِّلُهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ
أَعْتِقَ رَقَبَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَمِنْ بَعْدِ
الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ
رِقَابٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ
“Dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seandainya aku duduk berdzikir kepada Allah, mengagungkan-Nya, memuji-Nya,
bertasbih dan bertahlil kepada-Nya hingga matahari terbit, lebih aku cintai
daripada aku memerdekatan dua budak atau lebih dari keturunan Ismail. Dan dari
setelah shalat ashar hingga matahari terbenam, lebih aku senangi daripada aku
memerdekakan empat orang budak dari keturunan Ismail.” (HR Ahmad [22194], dan
sanadnya hasan).
Dalam hadits-hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang tidak kami sebutkan di
sini, sangat jelas, bahwa waktu dzikir, termasuk tahlilan dan yasinan, lebih
luwes dan lebih longgar dari pada waktu shalat. Meskipun orang-orang kafir
sedang menyembah Matahari, atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan,
dzikir seperti tahlilan tetap dianjurkan. Oleh karena itu, perkatan Syekh Ahmad
Al Ghumari dalam kitabnya, "Al-Istinfar li Ghazwit Tasyabbuh bil
Kuffar" hal. 33:
قال العلماء : نهى صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في هذين الوقتين
الذين يسجد فيهما الكفار للشمس وإن كان المؤمن لا يسجد إلا لله تعالى حسما لمادة
المشابهة وسدا للذريعة. وفيه تنبيه على أن كل ما يفعله المشركون ينهى المؤمن عن
ظاهره وإن لم يقصد التشبه فرارا من الموافقة في الصورة والظاهر.
“Para ulama mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang shalat
di kedua waktu yang bersujud padanya orang-orang kafir kepada matahari,
meskipun orang mukmin tidak sujud kecuali kepada Allah Ta’ala. Tujuannya adalah
untuk memutus materi musyabahah (penyerupaan) dan menutup jalan. Di dalamnya
juga ada peringatan bahwa setiap yang dilakukan kaum musyrikin maka kaum mukmin
dilarang melakukannnya dari sisi zahir yang sama meski dia tidak bermaksud
menyerupai (orang musyrik itu) demi menghindarkan diri dari ketersesuaian dalam
bentuk dan dalam zahir (fenomena).”
Perkataan tersebut tidak dapat diartikan secara mutlak, mencakup terhadap semua
bentuk ibadah seperti dzikir. Karena dzikir memang berbeda dengan sholat. Dalam
hadits lain tentang dzikir, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيْسَ يَتَحَسَّرُ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلا عَلَى
سَاعَةٍ مَرَّتْ بِهِمْ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيهَا. رواه الحكيم ، الطبرانى
والبيهقى فى شعب الإيمان الديلمى. قال الحافظ الدمياطي: إسناده جيد.
“Mu’adz bin Jabal berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak pernah menyesal penduduk surge kecuali karena satu waktu yang mereka
lalui, sedangkan mereka tidak mengisinya dengan dzikir kepada Allah.” (HR.
al-Hakim al-Tirmidzi (4/106), al-Thabarani [182], al-Baihaqi dalam Syu’ab
al-Iman [513], dan al-Dailami [5244]. Al-Hafizh al-Dimyathi berkata: sanad
hadits ini jayyid. Lihat, al-Matjar al-Rabih hlm 205).
Hadits ini memberikan pesan, bahwa dzikir dianjurkan setiap saat, tanpa dibatasi
dengan waktu. Oleh karena itu perkataan Syaikh al-Ghumari dalam al-Istinfar,
demikian pula perkataan al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah,
keduanya sepertinya mengutip dari Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ al-Shirath
al-Mustaqim, tidak dapat diartikan secara mutlak. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah
sendiri, mengamalkan dzikir sejak selesai shalat shubuh sampai Matahari naik ke
atas. Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata dalam
al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39):
فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ
وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ
عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ
ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ
وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ
يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ
عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ
فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ
إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ
بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ
وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ
بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ
يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ َحتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا
يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ
وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ
إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ فِيْ
ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ
وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا
حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي اْلأَحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ
يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلَى تِلاَوَةِ
الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟ فرَأَى أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا
حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ،
وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، اهـ (عمر بن علي البزار،
الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39 )
“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah
bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
Allahumma antassalam . . . Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca
tahlil-tahlil yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu tasbih,
tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai
bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia
berdoa kepada Allah SWT untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan
Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat shubuh kecuali
terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan
terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu,
ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaannya hingga
matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus
selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku padanya sehingga aku
duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan
dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca al-Fatihah,
mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni
mengulang-ulang al-Fatihah sejak selesai shalat shubuh hingga matahari naik.
Dalam hal itu aku merenung. Mengapa ia hanya rutin membaca al-Fatihah, tidak
yang lainnya? Akhirnya aku tahu –wallahu a’lam–-, bahwa ia bermaksud menggabungkan
antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu
apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam daripada membaca al-Qur’an, atau sebaliknya?
Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang al-Fatihah ini
berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini
termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Syaikh
Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata dalam al-A’lam
al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39).
Kesimpulan dari riwayat ini, sehabis shalat shubuh Ibn Taimiyah berdzikir
secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga
nahdliyyin. Pandangannya selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak dilakukan
oleh warga nahdliyyin). Sehabis itu, ia membaca surah al-Fatihah hingga
matahari naik ke atas.
Rutinitas Syaikh Ibnu Taimiyah tersebut memberikan kesimpulan, bahwa dzikir
tetap dianjurkan meskipun orang kafir sedang menyembah Matahari, atau orang
Hindu sedang melakukan ritual keagamaan.
Dzikir Tahlilan tetap berjalan kapan saja, termasuk tujuh hari, hari ke-40,
100, 1000 dan lain-lain. Wallahu a’lam.
https://scontent-a-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/p180x540/1453341_10202981111840526_247999422456815159_n.jpg?oh=ef432cda9cc73938fd55a83c7baee25e&oe=54F5E533