Jumat, 29 November 2019

MICROPHOEN IMAM ADA KOTORAN CICAK


Deskripsi Masalah
Dengan semakin berkembangnya tehnologi, sekarang ini di masjid-masjid marak menggunakan micropon mini yang menggunakan kabel panjang hingga  terhubung ke pesawat amplifier. Namun tidak jarang dari kabel panjang tersebut ada yang terkena kotoran cicak.

*Pertanyaan:*
1. Sahkah sholat imam yang menggunakan micropon tersebut (mikrofon diselipkan di baju imam) sedangkan sebagian kabel ada yg terkena kotoran cicak?

2. dan bagaimana juga sholatnya ma'mum?

*Jawaban:* 
1. Semua benda yang dibawa orang yang shalat, seperti micropon mini dalam masalah di atas, harus suci dari najis, sehingga apabila ada kabel yang terkena najis, maka shalatnya tidak sah. Namun karena najis yang ditanyakan berupa kotoran cicak, maka ulama' berbeda pendapat tentang hukum najis dan tidaknya kotoran cicak yang tentunya akan berpengaruh terhadap hukum sah dan tidaknya shalat.
📌 Menurut qaul ashoh shalatnya dihukumi tidak sah, karena kotoran cicak termasuk najis. Kecuali jika terjadi masyaqqot untuk dihindari, maka meski najis, hukumnya dumakfu.

📌 Menurut muqobilul ashoh shalatnya dihukumi sah secara muthlaq, baik ada masyaqqot dalam menghindarinya atau tidak, sebab nenurut muqobilul ashoh, setiap hewan yang tidak mempunyai darah mengalir, kotorannya dihukumi suci.

2. Jika mengikuti pendapat ashah yang mengatakan najis, maka shalat makmum hukumnya tidak sah meski tidak tahu tentang najisnya kabel mic, karena kabel tersebut dianggap dzahir. Namun menurut Imam Nawawi shalatnya makmum dihukumi shah secara mutlaq asalkan tidak tahu. Sebab menurut beliau tidak ada bedanya antara najis yang samar dan yang jelas. Begitupula menurut muqabil ashah yang menganggap kotoran cicak suci. Maka shalatnya makmum mutlaq sah.

*Referensi:*

*روضة الطالبين  ١/ ١٦*
 ﻭﻓﻲ ﺑﻮﻝ اﻟﺴﻤﻚ، ﻭاﻟﺠﺮاﺩ، ﻭﺩﻣﻬﻤﺎ ﻭﺭﻭﺛﻬﻤﺎ، *ﻭﺭﻭﺙ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻧﻔﺲ ﺳﺎﺋﻠﺔ، ﻭاﻟﺪﻡ اﻟﻤﺘﺤﻠﺐ ﻣﻦ اﻟﻜﺒﺪ، ﻭاﻟﻄﺤﺎﻝ، ﻭﺟﻬﺎﻥ. اﻷﺻﺢ: اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ*

*نهاية المطلب*
ﻭﻛﻞ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﻳﻌﺴﺮ اﻻﺣﺘﺮاﺯ ﻋﻨﻬﺎ، ﻓﺈﻥ اﻟﺸﺮﻉ ﻳﻌﻔﻮ ﻋﻨﻬﺎ، ﻛﻤﺎ ﻣﻀﻰ اﻟﺘﻔﺼﻴﻞ ﻓﻴﻪ.

*فتح الجواد لابن العماد ص١٨*
*(كذا الونيم) اي الروث (اذا قلّت اصابته) بدن المصلي وثيابه* (أوعمّ) هما يعفى عن قليله وكثيره (عني فخذ ) أنت (حكما بحكمته) أي معهما (من الذباب اوالزنبور) بضم الزاي (مثلها # بول الفراش) بالفتح الطيرُ الذي يلقي نفسه في ضوء السراج ومثله الخفاش وروث كل منهما كبوله .        
                      
*نهاية الزين : ٤٣*
وعن روث خفاش وخطاف وفراش، *وكذا كل حيوان تكثر مخالطته للناس كالزنبور،  وبول كل من ذلك كروثه فيعفى عن القليل والكثير في الثوب والبدن والمكان في المساجد والبيوت*.

*تنوير القلوب للشيخ محمد أمين الكردى الإربلى الشافعى : ص 104*
والضابط فى ذلك أن جميع ما يشق الاحتراز عنه غالبا فهو معفو عنه. إهـــ

*تحفة المحتاج*
(لا) إن بان إمامه محدثا أو (جنبا أو ذا نجاسةخفية) في ثوبه أو ملاقيه أو بدنه ولو في جمعة إن زاد على الأربعين كما يأتي إذ لا أمارة عليها فلا تقصير ومن ثم لو علم ذلك ثم نسيه واقتدى به ولم يحتمل تطهره لزمته الإعادة أما إذا بان ذا نجاسة طاهرة فتلزمه الإعادة لتقصيره *ورجح المصنف في كتب أن لا إعادة مطلقا*
والأوجه في ضبط الظاهرة أن تكون بحيث لو تأملها المأموم رآها فلا فرق بين من يصلي إمامه قائما وجالسا ولو قام رآها المأموم وفرق الروياني بين من لم يرها لبعده أو اشتغاله بصلاته فيعيد ومن لم يرها لكونها بعمامته ويمكنه رؤيتها إذا قام فجلس عجزا فلم يمكنه رؤيتها فلا يعيد لعذره واعترض بأنه يلزمه الفرق بين البصير، والأعمى يفصل فيه بين أن يكون بفرض زوال عماه بحيث لو تأملها رآها وأن لا وفيه نظر بل الذي يتجه فيه أنه لا تلزمه إعادة لعدم تقصيره بوجه فلم ينظر للحيثية المذكورة فيه، فإن قلت فما وجه الرد على الروياني حينئذ قلت وجهه ما أفاده كلامهم أن المدار هنا على ما فيه تقصير وعدمه وبوجود تلك الحيثية يوجد التقصير نظير ما مر في نجس يتحرك بحركته أن المدار على الحركة بالقوة بخلافه في السجود على متحرك بحركته لفحش النجاسة وما هنا نجاسة فكان إلحاقها بها أولى

 *ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ 2/46*
ﻭَﺻَﺤَّﺢَ ﺍﻟﻨَّﻮَﻭِﻱُّ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﺤْﻘِﻴْﻖِ ﻋَﺪَﻡَ ﻭُﺟُﻮْﺏِ ﺍْﻹِﻋَﺎﺩَﺓِ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ . ‏( ﻗَﻮْﻟُﻪُ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ ‏) ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﺨَﺒَﺚُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺗَﺒَﻴَّﻦَ ﻓِﻲ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡِ ﻇَﺎﻫِﺮًﺍ ﺃَﻭْ ﺧَﻔِﻴًّﺎ.

Senin, 25 November 2019

HUKUM DAN MACAM - MACAM KEPUTIHAN



Hukum Keputihan

Keputihan [1]
Keputihan atau Leukorea adalah lendir/mucus yang keluar dari vagina (sekresi vaginal).
Keputihan ada 2 macam :
1) Normal 
2) Abnormal

Keputihan berasal dari 5 tempat: 
1) Vulva
2) Vagina
3) Servik uteri
(Ini bagian terluar sampai bagian yang dapat dijangkau dzakar)
4) Korpus uteri
5) Tuba Fallopi
(Ini yang tidak dapat dijangkau dzakar)

Keputihan Normal
Keputihan normal biasanya terjadi setiap bulan, menjelang menstruasi, sesudah menstruasi atau pada masa subur.

Cirinya :
Cairan tidak berwarna (bening), tidak lengket ataupun encer, tidak gatal serta tidak berbau.

Sebagian besar cairan tersebut berasal dari leher rahim (Servik Uteri), walaupun ada yang berasal dari vagina yang terinfeksi. 

Keputihan Abnormal
Keputihan ini dapat disebabkan oleh infeksi biasanya disertai dengan rasa gatal di dalam vagina dan di sekitar bibir vagina bagian luar yang mengakibatkan iritasi pada vagina. Penyebab umum keputihan ini antara lain bakteri, virus, jamur atau juga parasit. Infeksi ini dapat menjalar dan menimbulkan peradangan ke saluran kencing, sehingga menimbulkan rasa pedih saat si penderita buang air kecil.

Cirinya :
Keluarnya cairan berwarna putih pekat, putih kekuningan, putih kehijauan atau putih kelabu dari saluran vagina. 
Cairan ini dapat encer atau kental, lengket dan kadang-kadang berbusa serta berbau menyengat.


Hukum Keputihan
Dalam fikih ada istilah ruthubatul farji (basah-basahnya vagina). Ialah cairan putih cenderung seperti madzi atau keringat. Maka jika keputihan sesuai dengan kriteria ini hukumnya dirinci sbb: [2]

1- Suci 
Apabila keluar dari anggota farji yang wajib dibasuh ketika istinja' , yaitu bagian farji yang kelihatan ketika duduk.

2 - Najis 
Apabila keluar dari bagian farji yang tidak dapat dijangkau dzakarnya laki-laki yang menjimaknya.

3 - Suci ( Menurut Qoul Ashoh ) 
Apabila keluar dari bagian farji yang masih dapat dijangkau dzakar laki-laki yang menjimaknya.

Bagaimana dengan keputihan yang kuning atau keruh? Meninjau catatan medis warma kuning atau keruh itu akibat kontaminasi darah yang ada di dalamnya. Sehingga hukumnya najis secara mutlaq.

_Keputihan yang dari rahim yang berwarna keruh/kuning hukumnya haid. Asalkan keluar di masa haid. Baik sebelum darah kuat atau sesudahnya. Orang awam biasa menganggap keruh menjelang menstruasi ini sebagai tanda-tanda akan haid. Mereka tidak paham bahwa keruh itu sudah masuk haid_ 

والله أعلم بالصواب

Referensi :
[1] Catatan Ringkasan Diskusi Grup Musykilaat Haidl dan Berbagai Sumber "Tentang Keputihan", telah ditashih oleh Dr. Arif Junaidi. Tanggal : 11 April 2019. Pukul : 13. 23 WIB
[2] I'anatuttholibin, Juz 1, hal. 106

Kamis, 21 November 2019

SUAMI MEMANDIKAN JASAD ISTRI ATAU SEBALIKNYA BOLEHKAH ?




SUAMI MEMANDIKAN JASAD ISTRINYA ATAU SEBALIKNYA

Hadits-hadits dan Pendapat Ulama Tentang Suami Memandikan Istrinya dan Istri Memandikan Suaminya.
‏ 
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ‏:‏ ‏(‏رَجَعَ إليَّ رسولِ اللَّهِ صلى اللَّه عليه وآله وسلم مِنْ جَنَازَةِ بِالْبَقِيْعِ وَأنَا أجِدُ صَدَاعًا في رَأْسِي وَأقُوْلُ وَاَرَأْسَاهُ فقال‏:‏ بَلْ أنَا وَاَرَأْسَاهُ ما ضَرَّكِ لَوْ مُتَّ قَبْلِي فَغَسَّلْتُكِ وَكَفَّنْتُكِ ثُمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ وَدَفَنْتُكِ‏)‏‏.‏ رواه أحمد وابن ماجه‏.
Dari Aisyah ia berkata, Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali dari menguburkan mayat di Baqi’ aku merasakan pusing di kepala. Aku berkata, “Aduh kepalaku” Beliau berkata, “Aku juga sakit kepala. Tidak ada yang dikhawatirkan padamu. Bila engkau meninggal sebelumku, aku akan memandikanmu, mengafanimu, kemudian menyalatkanmu dan menguburkanmu (HR.Ibnu Majah dan Ahmad)

[Bulughul Maram, hadits no. 19 bab Jenazah]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
Dalam hadits ini ada petunjuk bahwa bagi suami boleh memandikan istrinya, ini adalah pendapat mayoritas ulama. Abu Hanifah berkata, “Suami tidak boleh memandikan istrinya, namun berbeda jika sebaliknya, karena telah terangkatnya hokum pernikahan dan tidak ada iddah bagi suami. Tapi hadits ini jelas membantah pendapat ini pada kedua pasangan suami istri.
Adapun perempuan selain istri, maka Abu Dawud dalam marasilnya dari hadits Abu Bakar bin Ayyasy dari Muhammad bin Abu Sahl, dari Makhul ia berkata, “Rasulullah Shallallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika seorang perempuan meninggal di sekitar laki-laki sedangkan tidak ada perempuan selain dia bersama mereka, begitu pula jika seorang laki-laki meninggal di sekelompok perempuan dan tidak ada bersama mereka laki-laki selainnya, maka keduanya ditayamumkan kemudian dimakamkan, keduanya diposisikan orang yang tidak menemukan air’ (Al-Marasil 414).

[Subulussalam 1, hal. 837]

وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا اَلسَّلَامُ أَوْصَتْ أَنْ يُغَسِّلَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اَللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Asma' binti Umais Radliyallaahu 'anhu bahwa Fatimah Rhadiallahu ‘anha berwasiat agar ia dimandikan oleh Ali Rhadiallahu ‘anhu (Riwayat Daruquthni)
وَعَنْ عَائِشَةَ أنَّهَا كَانَتْ تقول‏:‏ ‏(‏لَوِ اسْتَقَبَلَتْ مِنَ الْأَمْرِ مَا اسْتَدْبَرَتْ مَا غَسَّلَ رسولَ اللَّهِ صلى اللَّه عليه وآله وسلم إِلَّا نِسَاؤُهُ‏)‏‏.‏ 
رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه‏.‏ وقد ذكرنا أن الصديق أوصى أسماء زوجته أن تغسله فغسلته‏.

Dari Aisyah ia berkata, Seandainya peristiwa yang telah terjadi itu kejadiannya yang akan datang tentulah yang memandikan jasad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu hanyalah para istrinya” (HR.Abu Dau, Ibnu Majah dan Ahmad)
Telah dikemukakan bahwa Ash-Shiddiq berwasiat kepada Asma’ binti Unais, istrinya, agar memandikannya, maka iapun memandikannya.
Imam Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Author :
Sabda beliau (aku akan memandikanmu) ini menunjukkan bahwa bila seorang istri meninggal, maka dimandikan oleh suaminya. Dikiaskan dari ini, maka begitu pula sebaliknya, sebagaimana Asma memandikan Abu Bakar dan Ali memandikan Fatimah. Tidak ada pengingkaran dari para sahabat terhadap yang dilakukan oleh Ali dan ‘Asma, sehingga dianggap sebagai ijma’, demikian menurut jumhur.

[Nailul Author 2, hal. 158].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Para Fuqaha sependapat atas bolehnya wanita memandikan suaminya. Aisyah berkata,
Jika aku menghadapi sesuatu urusan, tidaklah aku abaikan! Tidaklah orang yang memandikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali para istrinya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim yang menyatakan kesahihannya).
Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang boleh tidaknya suami memandikan istrinya. Jumhur membolehkannya. Golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh suami memandikan istrinya. Seandainya tidak ada orang kecuali suami, hendaklah ia menayamumkannya.

[Fiqih Sunnah 2, hal. 141].

Zaidudin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
الرجل أولى بغسل الرجل، والمرأة أولى بغسل المرأة، وله غسل حليلة، ولزوجة لا أمة غسل زوجها، ولو نكحت غيره، بلا مس، بل بلف خرقة على يد. فإن خالف صح الغسل. 
Laki-laki lebih tepat memandikan laki-laki, begitupun sebaliknya mayat wanita dimandikan oleh wanita. Suami boleh memandikan mayat istrinya, dan istri yang tidak termasuk amat (hamba perempuan) boleh memandikan mayat suaminya –walaupun ia telah menikah lagi dengan laki-laki lain- tanpa menyentuh kulit, melainkan mengggunakan kaos tangan. Kalau menyalahi yang demikian itu, sah memandikannya, sebab yang demikian itu sunat.

[Fathul Mu’in 1, hal. 487]

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
Para ulama sepakat bahwa istri boleh memandikan mayat suaminya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang suami yang memandikan mayat istrinya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa suami boleh memandikan istrinya.
Abu Hanifah berpendapat bahwa suami tidak boleh memandikan istrinya.
Sebab perbedaan tersebut bersumber dari kematian yang disamakan dengan talak.
Ulama yang menganggap kematian sebagai talak berpendapat bahwa suami tidak boleh melihat aurat istrinya yang mati.

[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 509].

Kesimpulan :
1. Mayoritas ulama berpendapat bolehnya istri memandikan mayat suaminya.
2. Mayoritas ulama berpendapat bolehnya suami memandikan mayat istrinya.

Selasa, 19 November 2019

WUDHU TUKANG CAT , SABLON DLL





Deskripsi masalah 

Tidak adanya penghalang antara air dan kulit adalah syarat sahnya wudhu dan mandi wajib , namun sebagian masyarakat ada yg berprofesi sebagai bengkel motor , tukang cat , tukang sablong dll yg tentunya profesi tersebut berhubungan langsung dengan hal² yg bisa menghalangi sampainya air pada kulit seperti oli bekas , cat , lem dll .

Pertanyaan 

Bagaimanakah hukum wudhu seseorang yg profesinya seperti yg telah di sebutkan , adakah pendapat yg mengatakan sah wudhunya tanpa harus menghilangkan benda² yg menghalanginya ?

Jawaban
Ada , jika memang orang² tersebut berprofesi sebagaimana deskripsi masalah , sebagaimana termaktub dalam kitab TAQRIRUL AUHAD


 تقرير الأوحد هامش الإقناع 1/30

مانصه : فشروطه وكذا الغسل ما مطلق ومعرفة انه 
مطلق ولو ظنا وعدم الحائل

(قوله وعدم الحائل)
 أى الجامد ومنه وسخ تحت الأظفار يمنع وصول الماء ونحو شمع وصبغ وحناء إن كان جرما وذلك فى حق من لا يبتلى به أما من ابتلى به فيعفى عنه كالفلاحين والزبالين والأساكفة