Selasa, 29 Agustus 2017

REKONTRUKSI KONSEPSI BERMAZHAB

PROLOG

Keharusan bermazhab dan taklid bagi orang yang tidak mampu berijtihad (orang awam) adalah suatu yang asksiomatis (ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah) yang tidak patut diperdebatkan apalagi diharamkan. Legalisasi bermazhab bagi mereka merupakan perintah agama yang mesti diindahkan (QS. [21]: 7). Para ulama yang kapabilitasnya telah diakui juga bersepakat bahwa bermazhab bagi orang yang tidak mampu berijtihad adalah wajib. Hanya sebagian kecil dari sekte Muktazilah dan Imam Ibnu Hazm yang menyatakan berbeda, meski faktanya Ibnu Hazm sendiri bermazhab Zhahiri! Konsensus ulama atas keharusan bermazhab dan taklid di atas ekslusif terkait dengan persoalan cabang (furû’), bukan persoalan prinsipil (ushûl). Dalam persoalan prinsipil, ulama masih berbeda pendapat; ada yang mengatakan haram dan ada yang mengatakan tidak.

Imam al-Ghazali, ulama syafi’iyah, menegaskan bahwa orang awam wajib meminta fatwa dan mengikuti ulama. Membebani orang awam untuk mencapai level ijitihad adalah mustahil tersebab hal tersebut dapat menyebabkan terbengkalainya berbegai pekerjaan yang mesti ia lakukan yang mana hal itu dapat menyebabkan instabilitas dunia (Al-Mustashfâ, 1/283).

Imam al-Amidi, pakar ushul fiqh mazhab syafi’i, dalam al-Ihkâm fîUshûl al-Ahkâm(3/234) menyebutkan tiga dalil yang mendukung fakta keharusan bermazhab bagi orang awam. Pertama,firman Allah swt dalam surah al-Anbiya’ berikut:

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7).

Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa orang yang tidak tahu harus bertanya dan ikut kepada orang yang tahu. Ayat tersebut juga dijadikan pijakan utama ulama ushul fikih bahwa orang awam wajib bertaklid kepada orang alim yang mujtahid.

Kedua, konsensus(ijma’).Para shahabat Nabi saw berebeda-beda level keilmuannya, ada yang ahli berfatwa dan ada yang tidak. Pada masa shahabat ketika ada orang bertanya tentang hukum suatu kasus, mereka akan langsung menjawabnya tanpa menjelaskan detail dalilnya dan terhadap hal itu tidak seorang pun dari shahabat lain yang mengingkarinya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka bersepakat atas keharusan orang yang tidak tahu (awam) untuk ikut kepada orang yang tahu (mujtahid).

Ketiga, dalil rasional. Bahwa ketika orang yang tidak ahli berijtihad menghadapi sebuah kasus aktual, maka akan ada dua kemungkinan, 1) bisa jadi dia tidak beribadah sama sekali yang mana hal tersebut menyalahi konsensus ulama dan fitrah, dan 2) bisa jadi dia beribadah dengan mencari dan meneliti sendiri dalil hukumnya, atau bisa juga dengan cara bertaklid. Untuk yang pertama tentu saja tidak memungkinkan, sebab jika semua orang diharuskan mencari dan meneliti sendiri maka akan banyak hal yang akan terbengkalai yang mana hal tersebut dapat menyebabkan instabilitas dunia, sehingga tidak ada pilihan lain yang lebih rasional selain pilihan kedua, bertaklid.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa orang awam atau orang alim yang belum sampai pada level mujtahid harus bertaklid kepada seroang mujtahid. Fatwa seorang mujtahid bagi orang awam setingkat dengan dalil al-Quran dan as-Sunnah bagi seorang mujtahid. Dengan kata lain, orang yang tidak tahu harus berpegang kepada fatwa dan hasil ijtihad seorang mujtahid sebagaimana seorang mujtahid harus berpegang pada dalil al-Quran dan as-Sunnah.

Umat Islam sepakat bahwa mazhab yang harus diikuti adalah empat mazhab yang otentisitasnya terbukti terjaga hingga kini, yaitu Mazhab Hambali, Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanafi. Adapun mazhab selain yang empat tersebut, seperti Mazhab Zaidiyah, Jakfariyah, Zhahiriyah, dan yang lain, masih terjadi silang pendapat antara para ulama. Secara umum, mazhab yang boleh diikuti hanyalah mazhab yang mudawwan (terkodifikasi) dengan baik dan sumperna. Ketentuan semacam itu tidak didapati kecuali pada mazhab empat di atas, sedangkan mazhab yang lain otentisitasnya masih amat diragukan tersebab tidak terkodifikasi dengan baik dan sempurna laiknya mazhab yang empat sehingga secara akademik tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh karena tidak ada jaminan pasti bahwa mazhab tersebut tidak mengalami distorsisama sekali (Tarsyîh al-Mustafidîn, 3).

SYUBHAT KONSEPSI BERMAZHAB

Seperti telah disinggung di muka bahwa perihal keharusan bermazhab bagi orang awam tidak perlu lagi diperdebatkan apalagi diharamkan. Namun demikian, ada beberapa persoalan internal yang masih menjadi polemik di antara para mutamazhhib (orangyang bermazhab) sendiri yang perlu dikaji dengan cermat dan tuntas agar tidak terjadi kesalahpahaman dan perdebatan yang tidak kunjung usai. Di antaranya adalah berkaitan dengan persoalan keharusan menetapi satu mazhab, masalah talfiq, dan persoalan berpindah mazhab.

Ketiga persoalan di atas saling terkait erat antara satu dengan yang lain. Jika kita wajib menetapi satu mazhab, misalnya, maka berarti kita tidak boleh berpindah kepada mazhab lain. Sebaliknya, jika tidak harus menetapi satu mazhab, berarti kita boleh berpindah-pindah ke mazhab lain sesuai keinginan kita. Polemik semacam ini mulai muncul pasca wafatnya para imam mazhab dan terus berlanjut hingga sekarang. Dalam menyikapi polemik tersebut, ada yang menyikapinya dengan terlalu ekstrim kanan hingga cenderung terjerumus ke lembah fanatisme buta, sebaliknya ada yang terlalu ekstrim kiri hingga cenderung liberal. Dari sinilah rekonstrukksi konsepsi bermazhab menemukan signifikansi dan urgensinya.

Terkait polemik keharusan menetapi satu mazhab atau tidak, tidak ada jawaban yang lebih moderat dan obyektif dibanding dengan jawaban yang dipaparkan Syekh Ramadan al-Buthi dalam kitab al-Lâmazhabiyah.Menurut beliau, tidak ada kewajiban sama sekali untuk menetapi satu mazhab saja tersebab yang wajib hanya bermazhab dan taklid kepada seorang mujtahid. Jika ada orang yang menetapi satu mazhab saja, maka motivasinya bukanlah karena perintah agama melaikan bisa jadi karena kemudahan mempelajari mazhab tersebut atau karena hati merasa lebih cocok pada mazhab tersebut.

Oleh karena demikian, orang yang beriktikad bahwa menetapi satu mazhab merupakan perintah agama sehingga mencekal berpindah dan berganti mazhab merupakan iktikad yang tidak benar. Sebaliknya, orang yang beriktikad bahwa berganti-ganti mazhab adalah perintah agama juga keliru. Perintah agama hanyalahkeharusan mengikuti seorang mujtahid bagi orang yang tidak mampu secara lansung memahami dalil-dalil pokok dan tidak ditaklif lebih dari itu, misal dengan menetapi satu mazhab atau bernganti-ganti mazhab.

Ketetapan di atas menurut al-Buthi merupakan hukum yang disepakati ulama dengan beralasan pada beberapa aspek berikut:

Pertama,pendapat yang mengharuskan menetapi satu mazhab tidak memiliki dalil sama sekali. Jika keharusan tersebut dianggap sebagai hukum tambahan terhadap hukum asal yang hanya mewajibkan bermazhab dan taklid, maka hal itu membutuhkan dalil juga dan pada kenyataannya tidak ditemukan dalil tegas terkait dengan hukum tambahan tersebut.

Kedua,dalam ilmu qiraat ada sepuluh qiraat yang diakui umat Islam semenjak era Nabi saw. Setiap umat Islam bebas membaca al-Quran dengan salah satu qiraat-qiraat tersebut, sebagaimana umat Islam bebas bermazhab pada salah satu mazhab yang empat. Dengan arti lain, dalam kedua kasus tersebut sama-sama tidak memiliki keharusan untuk menepati satu mazhab atau berganti-ganti mazhab setiap harinya.

Ketiga, sama sekali tidak ditemukan aksentuasi para imam mazhab untuk menetapi satu imam atau mufti saja, justru yang ada sebaliknya sebab memang tidak ada nas dalilnya. Kecuali dalam suatu negara mengikuti mazhab tertentu secara resmi sebagai hukum positif (hukum yang berlaku), maka siapapun tidak boleh mengikuti mazhab lain selain mazhab resmi tersebut tersebab hal itu rentan memicu perbedaan dan perpecahan, di samping juga bisa merusak keputusan hakim yang telah ditetapkan dan memiliki kekuatan hukum.

Dengan demikian, berarti sama-sama tidak ada keharusan untuk menetapi atau berpindah-pindah mazhab, yang ada hanya kewajiban bermazhab dan bertaklid kepada seorang mujtahid. Dengan kata lain bisa dimafhum bahwa menetapi satu mazhab itu boleh-boleh saja senyampang tidak beriktikad hal tersebut sebagai perintah agama dan berpindah mazhab juga boleh-boleh saja selagi tidak menyakini sebagai ajaran agama yang mengikat. Sehingga, tidak seoang pun berhak memaksa orang lain untuk menetapi satu mazhab dan juga untuk berpindah-pindah mazhab, dan tidak seorang pun berhak mencangkal orang yang menetapi satu mazhab karena kecondongan hati, dan berpindah mazhab dengan alasan yang dapat dibenarkan.

Sayid Alawi bin Ahmad as-Segaf dalam al-Fawâ’id al-Makiyah menyebutkan,

واعلم أن الأصح من كلام المتأخرين كالشيخ ابن حجر وغيره أنه يجوز الإنتقال من مذهب الى مذهب من المذاهب المدونة ولو بمجرد التشهي سواء انتقل دواما أو في بعض الحادثة, وإن أفتى أو حكم أو عمل بخلافه ما لم يلزم منه التلفيق كما في الفوائد وغيره

“Pendapat yang kuat dari kalangan ulama mutakhir semacam Imam Ibnu Hajar menyatakan kebolehan berpindah mazhab meski dengan alasan tasyahi (hawa nafsu), baik berpindah secara permanen maupun hanya dalam kasus-kasus terntentu saja senyampang tidak menyebabkan talfiq.”

Imam as-Suyuthi dalam Jazîl al-Mawâhib fi Ikhtilâf al-Mazhâhibmemberikan klasifikasi hukum orang yang berpindah mazhab secara permanen sesuai dengan tujuannya. Pertama, pindah mazhab karena tujuan dunia, seperti untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan, atau karena kedekatan dengan penguasa. Apabila orang yang perpindah mazhab tersebut bukan orang yang mengerti fiqh, maka boleh-boleh saja berpindah mazhab dengan tujuan demikian. Namun berbeda halnya dengan orang yang mengerti fiqh,maka haram berpindah mazhab dengan tujuan di atas tersebab ia telah mempermainkan hukum agama dengan alasan materi.

Kedua, pindah mazhab dengan alasan agama. Boleh bagi orang yang mengerti fiqh sebagaimana ditengaskan Imam ar-Rafi’i dan wajib bagi yang tidak mengerti fiqh yang mengalami kesulitan untuk memahami mazhabnya. Bahkan, bisa jadi haram jika tidak berpindah tersebab berpindah mazhab jauh lebih baik daripada kontinyu di dalam kebodohan dan ketidakberkembangan.

Sementara itu, bagi orang yang berpindah mazhab dalam kasus-kasus tertentu, ulama memberikan beberapa syarat sebagai bentuk dari kehati-hatian (ihtiyâth) bukan untuk mempersulit. Yaitu, 1)mazhab yang diikuti mesti salah satu dari empat mazhab yang otentisitasnya sudah disepakati ulama, 2) mengetahui semua syarat-syarat dalam masalah yang hendak diikuti, 3) tidak taklid pada pendapat yang menyalahi nas al-Quran dan as-Sunnah, ijmak atau kiyas, 4) tidak mengambil yang ringan-ringan saja dari setiap mazhab (tatabu’ ar-rukhas), dan 5) tidak tafiq dengan mengawinkan dua pendapat yang melahirkan konsepsi yang sama-sama tidak diakui oleh kedua imam. Seperti taklid kepada Imam Syafi’i dalam masalah mengusap sebagian kepala dan taklid kepada Imam Malik dalam masalah tidak batalnya wudu dengan menyentuh perempuan bila tanpa syahwat. Namun demikian, menurut Imam Ibnu Ziyad, talfiq yang dilarang adalah talfiq di dalam satu masalah saja (qadhiyah) seperti contoh di atas, sedangkan di dalam masalah berbeda maka diperbolehkan seperti wudu ikut tatacara mazhab syafi’i dan salatnya ikut tatacara mazhab maliki.

Lantas, apa boleh pindah ke mazhab lain karana dianggap lebih mudah dipraktikkan? Dan haruskan mengambil pendapat yang paling kuat dalam mazhab tersebut? Imam as-Subuki dalam fatawanya (1/147) menyebutkan bahwa legal berpindah pada mazhab lain dengan tujuan mengambil yang ringan bila memandang ada hajat atau darurat.

Imam Ibnu Hajar dalam kitab al-Tuhfah (3/256) menyatakan, “Apabila teramat sulit menerapkan yang ada dalam mazhab kita (mazhab syafi’i) maka bukanlah suatu masalah  (يجوز شرعا)mencari solusi dari mazhab lain.”

Kita juga boleh taklid kepada pendapat yang lemah (dhaîf) dalam mazhab tersebut tetapi untuk diamalkan sendiri bukan untuk difatwakan atau dibuat dasar di dalam memutuskan kasus hukum di pengadilan, sebagaimana disebutkan dalam kitabHâsyiyah alâ Syarh al-Minhâj (2/82) dan kitab Hâsyiyah al-Qulyûbi (1/13). Namun demikian, Imam Ibnu Hajar memperbolehkan menyampaikan pendapat lemah kepada orang lain tetapi bukan dalam rangka iftâ’ (memberi fatwa) melain sebatas irsyâd (memberi solusi).

EPILOG

Dari analisis yang cukup panjang di atas, dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya bermazhab amatlah fleksibel, tidak kaku, dan monoton. Syarat-syarat yang rumit dalam bermazhab hanya tertentu bagi mereka yang tingkat kelimuannya (minimal) setingkat dengan mufti. Tidak demikian halnya dengan orang awam, bahkan mereka tidak mesti menentukan mazhab tertentu. Cukup apa yang dilakukan itu tidak menyalahi nas al-Quran dan as-Sunnah, ijmak, dan qiyas. Dengan kata lain, jika apa yang dikerjakan sudah sesuai dengan salah satu mazhab yang ada meskipun dia tidak taklidmaka pekerjaan tersebut dianggap sah sebagai bentuk kemudahan bagi manusia (tausi’atan alâ ibâdillah).Di samping itu, di antara asas utama syariat Islam adalah kemudahan (adam al-harj wa al-dhaiq). Oleh karenanya, jangan sampai fanatisme terhadap mazhab tertentu sampai menghilangkan asas syariat yang dibangun berdasarkan prinsip kemudahan, terlebih posisi kita hanya sebatas mursyid (pemberi solusi) bukan mufti dan objeknya adalah orang awam.

Berikut penulis kutipkan beberapa nas pernyataan ulama mengenai orang awam.

۱- ومنفتاوي سيد سليمان بن يحي مفتي زبيدعن البدر الامام الحسن بن عبد الرحمن الاهدل بأن جميع افعال العوام في العبادات والبيوع وغيرها مما لايخالف الإجماع على الصحة والسداد إذا وافقوا إماما معتبرا علي الصحيح, وعن العلامة أبي بكر بن قاسم الاهدل وما افتى به من أن العامي لا مذهب له معين يكاد أن تتعين الفتوى به في حق العوام في هذه الأزمنة وإن كان عن المتأخرين المصحح من أنه يجب عليه التزام مذهب معين لكن من خبر حال العوام في هذا الزمان سيما اهل البوادي منهم جزم بأن تكليفهم التزام مذهب معين قريب من المستحيل وبأن الفتوى ما افتى به البدر الاهدل أنه لامذهب للعامي معين كالمتعين والله المستعان انتهى بتصريف.

۲- وقال السيد عمر في الحاشية نقلا عن فتاوى ابن زيد إن العامي اذا وافق فعله مذهب امام يصح تقليده صح فعله وإن لم يقلده توسعة على عباد الله تعالى

۳- والأصح أن العامي مخير بين تقليد من شاء ولو مفضولا عن مع وجود الافضل مالم يتتبع الرخص بل وإن تتبعها على ماقاله عز الدين وغيره

So, perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’iyah adalah rahmat bagi umat sebagaimana dituturkan dalam sebuah hadis Nabi saw. Rahmat tersebut berwujud kemudahan bagi siapapun dan kapan pununtuk menggunakannya senyampang didasari tujuan serta cara yang benar dan legal syar’i.

Wallâhu a’lam bis shawâb

Lin asal

http://hmass.co/2017/08/rekonstruksi-konsepsi-bermazhab/

HUKUM JUAL BELI BUAH MUDA YANG ADA DI POHON

JUAL BUAH YANG MASIH MUDA TETAP DI POHON
Di dalam kitab-kitab mu'tabaroh disebutkan bahwa jual beli buah yang belum layak dimakan  ( ٌبدو الصلاح) hukumnya tidak sah, kecuali dengan syarat langsung dipanen (شرط القطع). Selama ini sail mencari tahu yang memperbolehkan dalam madzhab syafii belum ditemukan.

Pertanyaan:
1. Adakah dalam lingkup  madzhab imam  Syafi'i pendapat yang merperbolehkan jual beli tersebut tanpa ada syarat langsung dipanen?

2. Kalau tidak ditemukan, bagaimana menurut imam di luar madzhab imam syafi'i?

Jawaban:
1. Belum ditemukan pendapat _Syafi'iyyah_ yang memperbolehkan jual beli buah belum layak makan (بدو الصلاح) tanpa adanya syarat qoth'i (langsung dipanen). Karena ketika akad itu di muthlaq-kan (tanpa syarat apapun)  maka dengan sendirinya  bermakna tabqiyah (tidak langsung dipanen bahkan dibiarkan tetap di pohon), sehingga hal ini berdampak pada tidak sahnya sebuah akad, sebagaimana ketika syarat tabqiyah ini disebutkan dalam akad.
Namun apabila buah itu biasa dikosumsi masih muda, seperti hisrim alias anggur muda, dan kelapa muda, maka menurut  *Imam Al-Qaffal dan Syaikh Abu Muhammad* hukum jual belinya sah, dengan bertendensi pada adat, karena menurut beliau berdua adat sama halnya dengan syarat yang diucapkan dalam akad العادة كالمشروط. Hanya saja tentu bukan berarti beliau memperbolehkan buah tersebut tetap dibiarkan di pohon, melainkan harus dipanen seketika itu juga. Kecuali setelah akad diadakan saling ridla kembali antara penjual dan pembeli untuk membiarkan buah tetap di pohon.

2. Ada, yaitu pendapat Imam Ibnu Abidin dari kalangan Hanafiyah yang memperbolehkan jual beli buah yang belum layak makan (بدو الصلاح) tanpa adanya Syarat Qoth'i apabila di daerah itu sudah ada kebiasaan  membiarkan buah yang dibeli sampai matang di pohon.

Referensi:
*الفقه الاسلامي وأدلته، ٥ / ٤٣٨١*
*ﻭﺃﻣﺎ ﺇﺫا ﻛﺎﻥ اﻟﺒﻴﻊ ﻗﺒﻞ ﺑﺪﻭ اﻟﺼﻼﺡ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﺩﻭﻥ اﺷﺘﺮاﻁ ﺗﺒﻘﻴﺔ ﻭﻻ ﻗﻄﻊ، ﻓﺎﻟﺒﻴﻊ ﺑﺎﻃﻞ*
، ﻷﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻃﻠﻖ اﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺑﻴﻊ اﻟﺜﻤﺮﺓ ﻗﺒﻞ ﺑﺪﻭ اﻟﺼﻼﺡ (اﻟﺰﻫﻮ)، ﻓﻴﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ ﻣﺤﻞ اﻟﻨﺰاﻉ. ﻭﺇﻃﻼﻕ اﻟﻌﻘﺪ ﻳﻘﺘﻀﻲ اﻟﺘﺒﻘﻴﺔ، ﻷﻥ اﻟﻤﻄﻠﻖ ﻳﻨﺼﺮﻑ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﺘﻌﺎﺭﻑ، ﻭاﻟﻤﺘﻌﺎﺭﻑ ﻫﻮ اﻟﺘﺮﻙ، ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺳﻴﺎﻕ اﻟﺤﺪﻳﺚ، *ﻓﻴﺼﻴﺮ اﻟﻌﻘﺪ اﻟﻤﻄﻠﻖ ﻛﺎﻟﺬﻱ ﺷﺮﻃﺖ ﻓﻴﻪ اﻟﺘﺒﻘﻴﺔ، ﻳﺘﻨﺎﻭﻟﻬﻤﺎ اﻟﻨﻬﻲ ﺟﻤﻴﻌﺎ،*
ﻭاﻟﺨﻼﺻﺔ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺻﺎﺣﺐ ﻓﺘﺢ اﻟﻘﺪﻳﺮ : ﻻ ﺧﻼﻑ  ﻓﻲ ﻋﺪﻡ ﺟﻮاﺯ ﺑﻴﻊ اﻟﺜﻤﺎﺭ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﺗﻈﻬﺮ، *ﻭﻻ ﻓﻲ ﻋﺪﻡ ﺟﻮاﺯﻩ ﺑﻌﺪ اﻟﻈﻬﻮﺭ ﻗﺒﻞ ﺑﺪﻭ اﻟﺼﻼﺡ ﺑﺸﺮﻁ اﻟﺘﺮﻙ،* ﻭﻻ ﻓﻲ ﺟﻮاﺯﻩ ﻗﺒﻞ ﺑﺪﻭ اﻟﺼﻼﺡ ﺑﺸﺮﻁ اﻟﻘﻄﻊ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ.

*التهذيب ٣ /٣٨٢*
*وقبل الصلاح إن بيع منفردًا عن الشجر لا يجوز إلا بشرط القطع) سواء جرت العادة بقطعه أم لا* ؛ لما روى الشيخان [خ٢١٩٧ - م١٥٥٥/ ١٥
*وإنما ألحقنا المطلق بشرط التبقية؛ لأن مطلق العقود يحمل على العادة، والعادة في الثمار التبقية*.

*المجموع شرح المهذب، ١١ /٤١٥*
(ﻓﺮﻉ) ﻗﺪ ﺫﻛﺮﻧﺎ ﺃﻥ اﻟﻌﻘﺪ اﻟﻤﻄﻠﻖ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ اﻟﺘﺒﻘﻴﺔ ﻷﻧﻬﺎ اﻟﻤﻌﺘﺎﺩ
*ﻓﻠﻮ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ اﻟﺒﻼﺩ اﻟﺸﺪﻳﺪﺓ اﻟﺒﺮﺩ ﻛﺮﻡ ﻻ ﺗﻨﺘﻬﻲ ﺛﻤﺎﺭﻫﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﺤﻼﻭﺓ ﻭاﻋﺘﺎﺩ ﺃﻫﻠﻬﺎ ﻗﻄﻊ اﻟﺤﺼﺮﻡ ﻓﻔﻲ ﺑﻴﻌﻬﺎ ﻭﺟﻬﺎﻥ*
*ﻋﻦ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻧﻪ ﻳﺼﺢ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺷﺮﻁ اﻟﻘﻄﻊ ﺗﻨﺰﻳﻼ ﻟﻌﺎﺩﺗﻬﻢ* اﻟﺨﺎﺻﺔ ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻌﺎﺩاﺕ اﻟﻌﺎﻣﺔ ﻓﻴﻜﻮﻥ اﻟﻤﻌﻬﻮﺩ ﻛﺎﻟﻤﺸﺮﻭﻁ *ﻭاﻣﺘﻨﻊ اﻷﻛﺜﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ*
*ﻭاﻟﻘﻔﺎﻝ ﻳﺮﻯ اﻃﺮاﺩ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻓﻴﻪ ﻛﺸﺮﻁ ﻋﻘﺪ ﻓﻲ ﻋﻘﺪ ﻓﻴﻔﺴﺪ اﻟﺮﻫﻦ* 
ﻗﺎﻝ اﺑﻦ اﻟﺮﻓﻌﺔ ﻛﻼﻡ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﺒﺎﻳﻦ ﻟﻜﻼﻡ اﻟﻘﻔﺎﻝ *ﻷﻥ اﻟﻘﻔﺎﻝ اﻋﺘﺒﺮ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻭﺣﺪﻫﺎ* ﻭاﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ اﻋﺘﺒﺮ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻣﻊ ﻛﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﻻ ﻳﻨﺘﻬﻲ ﺇﻟﻰ اﻟﺤﻼﻭﺓ ﻓﻘﺪ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺫﻟﻚ ﺣﺎﻟﺔ ﻛﻤﺎ ﻟﻪ ﺣﺘﻰ *ﻟﻮ ﺟﺮﺕ ﻋﺎﺩﺓ ﺑﻘﻄﻊ اﻟﻌﻨﺐ اﻟﺬﻱ ﻳﺠﺊ ﻣﻨﻪ ﻋﻨﺐ ﺣﺼﺮﻡ ﺻﺢ اﻟﻌﻘﺪ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻨﺪ اﻟﻘﻔﺎﻝ ﺑﺪﻭﻥ ﺷﺮﻁ اﻟﻘﻄﻊ* ﻭﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻳﺨﺮﺝ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻟﺤﺼﺮﻡ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻭﺟﻪ ﻭﻫﺬا اﻟﺬﻱ ﻗﺎﻟﻪ اﺑﻦ اﻟﺮﻓﻌﺔ ﻣﺤﺘﻤﻞ ﻭﻟﻜﻦ ﻇﺎﻫﺮ ﻛﻼﻡ اﻟﻨﺎﻗﻠﻴﻦ ﻋﻦ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻧﻪ ﺇﻧﻤﺎ اﻋﺘﺒﺮ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻓﺮﺿﻨﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻷﻧﻪ اﻟﺬﻱ ﻳﻌﺘﺎﺩ ﻗﻄﻌﻪ ﺣﺼﺮﻣﺎ

*نهاية المحتاج*
ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﺘﻀﺢ ﻓﻴﻪ اﻃﺮاﺩ اﻟﻌﺎﺩﺓ، ﻓﻬﻮ اﻟﻤﺤﻜﻢ، ﻭﻣﻀﻤﺮﻩ ﻛﺎﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﺻﺮﻳﺤﺎ، ...
ﻭﺃﻟﺤﻖ اﻟﻘﻔﺎﻝ ﺑﻤﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ ﺃﻣﺮا ﺁﺧﺮ، ﻓﻘﺎﻝ: ﺇﺫا ﻋﻢ ﻓﻲ اﻟﻨﺎﺱ اﻋﺘﻘﺎﺩ ﺇﺑﺎﺣﺔ ﻣﻨﺎﻓﻊ اﻟﺮﻫﻦ ﻟﻠﻤﺮﺗﻬﻦ، ﻓاﻃﺮاﺩ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻓﻴﻪ ﺑﻤﺜﺎﺑﺔ ﺷﺮﻁ ﻋﻘﺪ ﻓﻲ ﻋﻘﺪ، ﻭﻳﻠﺰﻡ ﻣﻨﻪ اﻟﺤﻜﻢ ﺑﻔﺴﺎﺩ اﻟﺮﻫﻦ، ﻭﻗﺪ ﻳﺠﺮﻱ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺃﻏﺮاﺽ ﻓﻲ اﻟﻘﺮﻭﺽ، ﻟﻮ ﺫﻛﺮﺕ ﻟﻔﺴﺪﺕ اﻟﻘﺮﻭﺽ ﺑﻬﺎ.
*ﻭاﻟﻘﻔﺎﻝ ﻳﺠﻌﻞ اﻃﺮاﺩ اﻟﻌﺮﻑ ﺑﻤﺜﺎﺑﺔ اﻟﺸﺮﻁ* ، ﻭﻟﻢ ﻳﺴﺎﻋﺪﻩ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ،
ﻭﻛﺎﻥ ﺷﻴﺨﻲ ﻳﻘﻮﻝ: *ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺑﻘﻌﺔ ﻣﻦ اﻟﺒﻘﺎﻉ اﻟﻤﻌﺪﻭﺩﺓ ﻣﻦ اﻟﺼﺮﻭﺩ ﻛﺮﻭﻡ، ﻓﻜﺎﻧﺖ اﻟﺜﻤﺎﺭ ﻻ ﺗﻨﺘﻬﻲ ﺇﻟﻰ اﻟﺤﻼﻭﺓ، ﻭﻋﻢ ﻓﻴﻬﺎ اﻟﻌﺮﻑ ﺑﻘﻄﻊ اﻟﺤﺼﺮﻡ، ﻓﺈﻃﻼﻕ اﻟﺒﻴﻊ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮﻑ ﻓﻲ اﻟﻘﻄﻊ، ﻭﻫﻮ ﻧﺎﺯﻝ ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﺒﻴﻊ ﺑﺸﺮﻁ اﻟﻘﻄﻊ،* ﻓﺎﻟﺘﻌﻮﻳﻞ ﻓﻲ ﺃﺻﻞ اﻟﻤﺬﻫﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺎﺩﺓ.
ﻭﺃﻧﺎ ﺃﻗﻮﻝ: ﻻ ﺷﻚ ﺃﻥ ﺣﻤﻞ اﻟﻤﻄﻠﻖ ﻣﻦ اﻟﺒﻴﻊ ﻓﻲ اﻟﺜﻤﺎﺭ اﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﻳﺒﺪ اﻟﺼﻼﺡ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻘﻴﺪ ﺑﺸﺮﻁ اﻟﺘﺒﻘﻴﺔ ﻣﺄﺧﻮﺫ ﻣﻦ اﻟﻌﺮﻑ.

*الموسوعة الفقهية الكويتية*
ورجح ابن عابدين في رسالته نشر العرف جوازه بيع الثمار مطلقاً قبل بدو الصلاح أو بعده إذا جرى العرف بترك ذلك؛ لأن الشرط الفاسد إذا جرى به العرف صار صحيحاً ويصح العقد معه استحساناً
ﻓﺈﻥ ﺑﻴﻊ اﻟﺜﻤﺮ ﻗﺒﻞ ﺑﺪﻭ اﻟﺼﻼﺡ ﺑﺸﺮﻁ اﻟﺘﺒﻘﻴﺔ ﺃﻭ ﻋﻠﻰ اﻹﻃﻼﻕ ﺩﻭﻥ ﺑﻴﺎﻥ ﺟﺬ ﻭﻻ ﺗﺒﻘﻴﺔ ﻓﻌﻨﺪ اﻟﺠﻤﻬﻮﺭ (اﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻭاﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭاﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ) اﻟﺒﻴﻊ ﺑﺎﻃﻞ. ﻭاﻟﺤﻜﻢ ﻛﺬﻟﻚ ﻋﻨﺪ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﺇﻥ ﺷﺮﻁ اﻟﺘﺮﻙ، *ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﻗﻄﻌﺎ ﻭﻻ ﺗﺒﻘﻴﺔ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﺬﻫﺐ، ﺇﺫا ﻛﺎﻥ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ.* ﻭﻋﻠﻰ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ، ﻷﻧﻪ ﻣﺎﻝ ﻣﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺛﺎﻧﻲ اﻟﺤﺎﻝ، ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻨﺘﻔﻌﺎ ﺑﻪ ﻓﻲ اﻟﺤﺎﻝ.

*الموسوعة الفقهية الكويتية*
(ﺑ) ﻭﻓﺼﻞ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ، ﻓﻘﺮﺭﻭا ﺃﻧﻪ: *ﺇﻥ ﻛﺎﻥ اﻟﺜﻤﺮ ﺑﺤﺎﻝ ﻻ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ ﻓﻲ اﻷﻛﻞ ﻭﻻ ﻓﻲ ﻋﻠﻒ اﻟﺪﻭاﺏ، ﻓﻔﻴﻪ ﺧﻼﻑ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺸﺎﻳﺦ:*
*ﻗﻴﻞ: ﻻ ﻳﺠﻮﺯ* ، ﻭﻧﺴﺒﻪ ﻗﺎﺿﻴﺨﺎﻥ ﻟﻌﺎﻣﺔ ﻣﺸﺎﻳﺦ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻟﻠﻨﻬﻲ، ﻭﻷﻥ اﻟﺒﻴﻊ ﻳﺨﺘﺺ ﺑﻤﺎﻝ ﻣﺘﻘﻮﻡ، ﻭاﻟﺜﻤﺮ ﻗﺒﻞ ﺑﺪﻭ اﻟﺼﻼﺡ ﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ. *ﻭاﻟﺼﺤﻴﺢ: ﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ، ﻷﻧﻪ ﻣﺎﻝ ﻣﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺛﺎﻧﻲ اﻟﺤﺎﻝ* (ﺃﻱ اﻟﻤﺂﻝ) ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻨﺘﻔﻌﺎ ﺑﻪ ﻓﻲ الحال

Link asal

http://tomboatigrup.blogspot.com

FIQIH QURBAN DARI KITAB MAJMUK

*Fiqih Qurban, Kitab al-Majmu’ Karya Imam Nawawi (w. 676 H)*

*Hukum Qurban Sunnah*

المجموع شرح المهذب (8/ 383)
أما الأحكام فقال الشافعي والأصحاب التضحية سنة مؤكدة وشعار ظاهر ينبغي للقادر عليها المحافظة عليها ولا تجب بأصل الشرع.

*qurban dianjurkan juga bagi musafir*

المجموع شرح المهذب (8/ 383)
قال الشافعي رحمه الله في كتاب الضحايا من البويطي الأضحية سنة على كل من وجد السبيل من المسلمين من أهل المدائن والقرى وأهل السفر والحضر والحاج بمنى وغيرهم من كان معه هدي ومن لم يكن معه هدي.

*Hukum Qurban Untuk Sekeluarga Adalah Sunnah Kifayah*

المجموع شرح المهذب (8/ 384)
قال أصحابنا التضحية سنة على الكفاية في حق أهل البيت الواحد فإذا ضحى أحدهم حصل سنة التضحية في حقهم.

*Waktu mulai boleh Berqurban setelah matahari terbit dan selesai sholat ied *

المجموع شرح المهذب (8/ 389)
مذهبنا أنه يدخل وقتها إذا طلعت الشمس يوم النحر ثم مضى قدر صلاة العيد وخطبتين كما سبق فإذا ذبح بعد هذا الوقت أجزأه سواء صلى الإمام أم لا وسواء صلى المضحي أم لا وسواء كان من أهل الأمصار أو من أهل القرى أو البوادي أو المسافرين وسواء ذبح الإمام ضحيته أم لا.

*Berqurban Pada Malam Hari Boleh Tapi Makruh*

المجموع شرح المهذب (8/ 391)
مذهبنا جواز الذبح ليلا ونهارا في هذه الأيام جائز لكن يكره ليلا وبه قال أبو حنيفة وإسحاق وأبو ثور والجمهور وهو الأصح عن أحمد وقال مالك لا يجزئه الذبح ليلا.

* Tidak Boleh Berqurban Dengan Selain Bahimatul An’am*

المجموع شرح المهذب (8/ 393)
أما الأحكام فشرط المجزئ في الأضحية أن يكون من الأنعام وهي الإبل والبقر والغنم سواء في ذلك جميع أنواع الإبل من البخاتي والعراب وجميع أنواع البقر من الجواميس والعراب والدربانية وجميع أنواع الغنم من الضأن والمعز وأنواعهما ولا يجزئ غير الأنعام من بقر الوحش وحميره والضبا وغيرها بلا خلاف.

*Kriteria Hewan Yang Boleh Untuk Dijadikan Qurban Sudah powel*

المجموع شرح المهذب (8/ 393)
ولا يجزئ من الضأن إلا الجذع والجذعة فصاعدا ولا من الإبل والبقر والمعز إلا الثني أو الثنية فصاعدا هكذا نص عليه الشافعي وقطع به الأصحاب.

*Yang Afdhal Berqurban Dengan Hewan Jantan*

المجموع شرح المهذب (8/ 397)
يصح التضحية بالذكر وبالأنثى بالإجماع وفي الأفضل منهما خلاف (الصحيح) الذي نص عليه الشافعي في البويطي وبه قطع كثيرون أن الذكر أفضل من الأنثى.

*Onta , Sapi , Domba , Kambing kacang Adalah irutan Jenis Hewan Yang Utama Untuk Qurban*

المجموع شرح المهذب (8/ 396)
البدنة أفضل من البقرة والبقرة أفضل من الشاة والضأن افضل من المعز فجذعة الضأن أفضل من ثنية المعز لما ذكره المصنف وهذا كله متفق عليه عندنا.

*Batasan Cacat Yg Menghalangi Sahnya Hewan Qurban*

المجموع شرح المهذب (8/ 404)
أجمعوا على أن العمياء لا تجزئ وكذا العوراء البين عورها والعرجاء البين عرجها والمريض البين مرضها والعجفاء واختلفوا في ذاهبة القرن ومكسورته فمذهبنا أنها تجزئ.

*Satu Kambing Hanya Untuk Satu Orang*

المجموع شرح المهذب (8/ 397)
تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد لكن إذا ضحى بها واحد من أهل البيت تأدى الشعار في حق جميعهم وتكون التضحية في حقهم سنة كفاية. وتجزئ البدنة عن سبعة وكذا البقرة سواء كانوا أهل بيت أو بيوت وسواء كانوا متقربين بقربة متفقة أو مختلفة واجبة أو مستحبة أم كان بعضهم يريد اللحم ويجوز أن يقصد بعضهم التضحية وبعضهم الهدي.

*Dua Orang Berserikat Membeli dua Kambing Kecuali ditentukan satu²*

المجموع شرح المهذب (8/ 398)
ولو اشترك رجلان في شاتين للتضحية لم يجزئهما في أصح الوجهين ولا يجزئ بعض شاة بلا خلاف بكل حال والله أعلم.

*Penyembelihan Qurban Boleh di Wakilkan namun yang bagus di potong sendiri kecuali yang qurban wanita*

المجموع شرح المهذب (8/ 405)
قال الشافعي والأصحاب يستحب أن يذبح هديه وأضحيته بنفسه قال الماوردي إلا المرأة فيستحب لها أن توكل في ذبح هديها وأضحيتها رجلا قال الشافعي والأصحاب ويجوز للرجل والمرأة أن يوكلا في ذبحهما من تحل ذكاته والأفضل أن يوكل مسلما فقيها بباب الصيد والذبائح والضحايا وما يتعلق بذلك لأنه أعرف بشروطه وسننه ولا يجوز أن يوكل وثنيا ولا مجوسيا ولا مرتدا ويجوز أن يوكل كتابيا وامرأة وصبيا لكن قال أصحابنا يكره توكيل الصبي.

*Batas Akhir Waktu Penyembelihan Qurban adalah hari terakhir tasyriq yakni tenggelamnya matahari tanggal 13 dzul hijjah*

المجموع شرح المهذب (8/ 387)
(وأما) آخر وقتها فاتفقت نصوص الشافعي والأصحاب على أنه يخرج وقتها بغروب شمس اليوم الثالث من أيام التشريق.

*Tidak Boleh Memberi Upah Tukang Jagal Dengan Sebagian Dari Heawan Qurban Meskipun hanya kulit*

المجموع شرح المهذب (8/ 420)
ولا يجوز جعل الجلد وغيره أجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك.
المجموع شرح المهذب (8/ 421)
قال الشيخ أبو حامد والبندنيجي والأصحاب إذا أعطى المضحي الجازر شيئا من لحم الأضحية أو جلدها فإن أعطاه لجزارته لم يجز وإن أعطاه أجرته ثم أعطاه اللحم لكونه فقيرا جاز كما يدفع إلى غيره من الفقراء والله أعلم.

*Lebih Afdhal Qurban Daripada Shadaqah Tathawwu*

المجموع شرح المهذب (8/ 425)
مذهبنا أن الأضحية أفضل من صدقة التطوع للأحاديث الصحيحة المشهورة في فضل الأضحية.

*ketika memotong diniati qurban*

المجموع شرح المهذب (8/ 405)
قال أصحابنا والنية شرط لصحة التضحية وهل يجوز تقديمها على حالة الذبح أم يشترط قرنها به فيه وجهان (أصحهما) جواز التقديم كما في الصوم والزكاة على الأصح.

*Boleh Berqurban Atas Nama Mayit Baik Berwasiat atau Tidak*

المجموع شرح المهذب (8/ 406)
(وأما) التضحية عن الميت فقد أطلق أبو الحسن العبادي جوازها لأنها ضرب من الصدقة والصدقة تصح عن الميت وتنفعه وتصل إليه بالإجماع. وقال صاحب العدة والبغوي لا تصح التضحية عن الميت إلا أن يوصي بها وبه قطع الرافعي في المجرد والله أعلم.

*Sunnah Membaca Basmalah Ketika Menyembelih Hewan *

المجموع شرح المهذب (8/ 408)
التسمية مستحبة عند الذبح والرمي إلى الصيد وإرسال الكلب ونحوه فلو تركها عمدا أو سهوا حلت الذبيحة لكن تركها عمدا مكروه على المذهب الصحيح كراهة تنزيه لا تحريم.

*Sunnah orang yang Menyembelih Dengan Menghadap Kiblat.*

المجموع شرح المهذب (8/ 408)
استقبال الذابح القبلة وتوجيه الذبيحة إليها وهذا مستحب في كل ذبيحة لكنه في الهدي والأضحية أشد استحبابا.

*Cara Penyembelihan Qurban adalah hewan di miringkan kelambung sebelah kiri dan tiga kaki selain kai kanan di ikat *

المجموع شرح المهذب (8/ 408)
ويستحب أن يضجع البقر والشاة على جنبها الأيسر هكذا صرح به البغوي والأصحاب قالوا ويترك رجلها اليمنى ويشد قوائمها الثلاث.

*Makruh Memotong Rambut dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berqurban*

المجموع شرح المهذب (8/ 392)
مذهبنا أن إزالة الشعر والظفر في العشر لمن أراد التضحية مكروه كراهة تنزيه حتى يضحي.

*Sunnah Membaca Shalawat setelah basmalah Ketika Menyembelih*

المجموع شرح المهذب (8/ 410)
يستحب مع التسمية على الذبيحة أن يصلي على رسول الله صلى الله عليه وسلم عند الذبح نص عليه الشافعي في الأم وبه قطع المصنف في التنبيه وجماهير الأصحاب.

*Doa Ketika Menyembelih*

المجموع شرح المهذب (8/ 410)
يستحب أن يقول عند التضحية مع التسمية اللهم منك وإليك تقبل مني. وحكى الماوردي وجها أنه لا يستحب وهذا شاذ ضعيف والمذهب ما سبق. ولو قال تقبل مني كما تقبلت من إبراهيم خليلك ومحمد عبدك ورسولك صلى الله عليهما وسلم لم يكره ولم يستحب كذا نقله الروياني في البحر عن الأصحاب. واتفق أصحابنا على استحباب التكبير مع التسمية فيقول بسم الله والله أكبر.

*TIDAK boleh bagi yang berqurban Menjual Kulit/ Daging Qurban*

المجموع شرح المهذب (8/ 419)
واتفقت نصوص الشافعي والأصحاب على أنه لا يجوز بيع شئ من الهدي والأضحية نذرا كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره.

* Bagi Yg Berqurban Lebih Dari 1 Ekor Hendaknya pemotongannya dihari yang berbeda*

المجموع شرح المهذب (8/ 424)
من ضحى بعدد من الماشية استحب أن يفرقه على أيام الذبح فإن كان شاتين ذبح شاة في اليوم الأول وأخرى في آخر الأيام وهذا الذي قاله وإن كان أرفق بالمساكين فهو ضعيف مخالف للسنة الصحيحة فقد ثبتت الأحاديث الصحيحة أن النبي صلى الله عليه وسلم (نحر مائة بدنة أهداها في يوم واحد وهو يوم النحر فنحر بيده بضعا وستين وأمر عليا رضى الله عنه ينحر تمام المائة) فالسنة التعجيل والمسارعة إلى الخيرات والمبادرة بالصالحات إلا ما ثبت خلافه.

*Boleh Bagi yang Berqurban Makan Daging Qurban Jika qurban sunnah jika wajib tidak Boleh sama sekali*

المجموع شرح المهذب (8/ 414)
فللأضحية والهدي حالان (أحدهما) أن يكون تطوعا فيستحب الأكل منهما ولا يجب بل يجوز التصدق بالجميع هذا هو المذهب وبه قطع جماهير الأصحاب وهو مذهب عامة العلماء. وفي القدر الذي يستحب أن لا ينقص التصدق عنه قولان (القديم) يأكل النصف ويتصدق بالنصف (والأصح) الجديد قال الرافعي واختلفوا في التعبير عن الجديد فنقل جماعة عنه أنه يأكل الثلث ويتصدق بالثلثين ونقل المصنف وآخرون عنه أنه يأكل الثلث ويتصدق بالثلث على المساكين ويهدي الثلث إلى الأغنياء أو غيرهم وممن حكى هذا الشيخ أبو حامد ثم قال أبو حامد ولو تصدق بالثلثين كان أفضل. (الحال الثاني) أن يكون الهدي أو الأضحية منذورا قال الأصحاب كل هدي وجب ابتداء من غير التزام كدم التمتع والقران وجبرانات الحج لا يجوز الأكل منه بلا خلاف.

HUKUM MENGGABUNG PUASA QODHO' DAN SUNNAH

Deskripsi masalah

Wati adalah wanita taat dan dia ingin melakukan ibadah puasa sunnah , suatu hari wati ingin sekali melakukan puasa sunnah 6 hari syawal , namun dia ragu apakah dia boleh melakukan puasa sunnah padahal dia masih punya tanggungan mengqodho' puasa ramadhan yang tidak ia tunaikan karena udzur syar'i , hingga dalam hatinya terbersit bagaimana kalau diniati dua yaitu qodho' dan sunnah syawal

Pertanyaan

Bolehkah menggabung puasa qodo' dan sunnah ?

Jawaban

Dalam masalah ini ulama khilaf
1. Boleh menggabung keduanya dan dua²nya dapat pahala .

2. Tidak boleh dan tidak mendapat pahala dari keduanya bahkan orang yang masih punya tanggungan qodho' romadhan tidak sah puasa sunnah sebelum mengqodho'nya.

3. Cukup niat qodho' tidak usah niat sunnah namun dia tetap mendapatkan pahala sunnah

Wallahu a'lam

Referensi.

.(تنبيه) إعلم أنه قد يوجد للصوم سببان كوقوع عرفة أو عاشوراء يوم اثنين أو خميس أو وقوع اثنين أو خميس في ستة شوال فيزداد تأكده رعاية لوجود السببين فإن نواهما حصلا كالصدقة على القريب صدقة وصلة وكذا لو نوى أحدهما فيما يظهر.

إعانة الطالبين٢/٢٧١

. إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 252) (وقوله: النفل) منصوب بنزع الخافض وهو عن،
والتقدير: واحترز باشتراط التعيين في الفرض عن النفل. وكان المناسب أن يقول هنا أيضا: واحترز بقولي في الفرض من حيث اشتراط التعيين في الفرض عن النفل، لان المحترز به هو الفرض، لا اشتراط التعيين. فتنبه. وقوله: أيضا، أي كما احترز باشتراط التبييت في الفرض عن النفل. وقوله: فيصح: أي النفل – أي صومه. وقوله: ولو مؤقتا: غاية في صحة الصوم في النفل بنية مطلقة، أي لا فرق في ذلك بين أن يكون مؤقتا – كصوم الاثنين، والخميس، وعرفة، وعاشوراء، وأيام البيض – أو لا: كأن يكون ذا سبب – كصوم الاستسقاء – بغير أمر الامام، أو نفلا مطلقا. (قوله: بنية مطلقة) متعلق بيصح، فيكفي في نية صوم يوم عرفة مثلا أن يقول: نويت الصوم. (قوله: كما اعتمده غير واحد) أي اعتمد صحة صوم النفل المؤقت بنية مطلقة.وفي الكردي ما نصه: في الاسنى – ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي – الصوم في الايام المتأكد صومها منصرف إليها، بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ: زاد في الايعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا، نواه معه أو لا. وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في يوم راتبان كعرفة يوم الخميس. اه. وكلام التحفة كالمتردد في ذلك. اه. (قوله: نعم بحث في المجموع إلخ) هذا إنما يتم له إن ثبت أن الصوم في الايام المذكورة مقصود لذاتها. والمعتمد: كما يؤخذ من عبارة الكردي المارة آنفا – أن القصد وجود صوم فيها. فهي كالتحية، فإن نوى التطوع أيضا حصلا، وإلا سقط الطلب عنه، وبهذا فارق رواتب الصلوات. (قوله: كعرفة وما معها) أي وما يذكر معها عند تعداد الرواتب – كعاشورا، وستة من شوال، والايام البيض، والايام السود -. (قوله: فلا يحصل غيرها) أي من قضاء أو كفارة. (وقوله: معها) أي الرواتب. (وقوله: وإن نوى) أي غير الرواتب. (قوله: بل مقتضى القياس) أي على رواتب الصلاة. (وقوله: أن نيتهما) أي الرواتب وغيرها، كأن نوى صوم عرفة وقضاء أو كفارة. (وقوله: مبطلة) أي لان الراتب لا يندرج في غيره، فإذا جمعه مع غيره لم يصح، للتشريك بين مقصودين. (قوله: كما لو نوى الظهر وسنته) أي فإن ذلك مبطل، وقد علمت الفرق – فلا تغفل

فتح الوهاب – (ج 1 / ص 206) (وتعيينه) أي الفرض قال في المجموع، وينبغي اشتراط التعيين في الصوم الراتب كعرفة وعاشوراء وأيام البيض وستة من شوال كرواتب الصلاة وأجيب بأن الصوم في الايام المذكورة منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت أيضا كتحية المسجد، لان المقصود وجوب صوم فيها

بغية المسترشدين ص 113-114

(مسألة: ك): ظاهر حديث: «وأتبعه ستاً من شوّال» وغيره من الأحاديث عدم حصول الست إذا نواها مع قضاء رمضان، لكن صرح ابن حجر بحصول أصل الثواب لإكماله إذا نواها كغيرها من عرفة وعاشوراء، بل رجح (م ر) حصول أصل ثواب سائر التطوعات مع الفرض وإن لم ينوها، ما لم يصرفه عنها صارف، كأن قضى رمضان في شوّال، وقصد قضاء الست من ذي القعدة، ويسنّ صوم الست وإن أفطر رمضان اهـ.

قلت: واعتمد أبو مخرمة تبعاً للسمهودي عدم حصول واحد منهما إذا نواهما معاً، كما لو نوى الظهر وسنتها، بل رجح أبو مخرمة عدم صحة صوم الست لمن عليه قضاء رمضان مطلقاً

الفوائد الجنية ج1 ص 153

قوله : (كل ما المقصود منه الفعل) أي لا حصوله مستقبلا بنية. قوله : (وهي نحو ستة عشر سنة) منها غسل الجمعة هو سنة إذا نوى مع غسل الجنابة, ومنها سلام الخروج من الصلاة إذ نوى به السلام على الحاضرين, ومنها عمرة التطوع إذا نويت مقرونة بحج الفرض, ومنها الصوم عن عرفة إذا نوى معه صوم قضاء أو نذر أو كفارة