Jumat, 26 September 2014

MENCERMATI SUMBER AKIDAH WAHABI, MELALUI SANAD TIDAK SHAHIH

Dewasa ini, kaum Wahabi sering membangun propaganda bahwa akidah mereka adalah akidah ahli hadits. Padahal mayoritas ahli hadits bermadzhab Asya’irah, seperti diakui oleh Safar al-Hawali, ulama mereka wahabi, dalam bukunya Naqd Manhaj al-Asya’irah fi al-‘Aqidah, halaman 5. Meskipun kita tidak perlu pengakuan Safar al-Hawali.
Untuk membangun propaganda, bahwa akidah wahabi merupakan representasi akidah ahli hadits, kaum wahabi banyak menerbitkan kitab-kitab akidah yang konon ditulis oleh para ahli hadits kenamaan seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam al-Daraquthni dan lain-lain.
Akan tetapi upaya kaum Wahabi, dalam membangun propaganda, bahwa mereka merupakan penerus ahli hadits dalam bidang akidah, berhadapan dengan banyak kendala, antara lain:
1) Kitab yang mereka terbitkan tidak memiliki sanad yang muttashil dari ustadz-ustadz wahabi kepada penulisnya. Kaum wahabi, dalam bertalaqqi atau bertahammul kitab tersebut, hanya menggunakan metode wijadah, (menemukan manuskrip kitab tersebut dalam sebuah perpustakaan), lalu mereka terbitkan. Padahal sudah maklum, bahwa metode wijadah, adalah metode paling lemah dalam aspek tahammul dan talaqqi ilmu hadits.Sementara metode sanad adalah metode paling kuat.
2) Metode wahabi dalam bertahammul, sudah menggunakan metode wijadah, masih ditambah, bahwa dalam manuskrip kitab-kitab tersebut, ternyata terulis bahwa kitab-kitab itu diriwayatkan melalui jalur perawi yang popular sebagai pendusta, pembohong dan pemalsu hadits. Suatu kegelapan yang bertumpuk-tumpuk dalam sumber akidah Wahabi.
Sebagai contoh dari kitab dengan metode di atas, adalah dua kitab yang dinisbatkan oleh al-Imam al-Daraquthni;
Pertama, kitab al-Nuzul, yang ditahqiq oleh Wahabi dari Universitas Madinah, Dr Ali bin Muhammad bin Nashir Faqihi, salah seorang ulama Wahabi.
Kedua, kitab al-Shifat, yang ditahqiq oleh al-Faqihi di atas, dan ada juga yang ditahqiq oleh Dr Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman, ulama Wahabi dari Madinah juga.
Dalam catatan pengantar kedua pentahqiq tersebut dinyatakan bahwa kitab al-Nuzul dan kitab al-Shifat tersebut, diriwayatkan melalui dua orang perawi bermasalah:
Pertama, adalah Abu Thalib al-‘Asysyari, seorang perawi yang jujur tetapi lugu sehingga buku-bukunya mudah disispi riwayat-riwayat palsu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Al-Dzahabi dan Ibnu Hajar berkata:
مُحَمَّدُ بْنِ عَلِيِّ بْنِ الْفَتْحِ أَبُوْ طَالِبٍ الْعَشَّارِيُّ شَيْخٌ صَدُوْقٌ مَعْرُوْفٌ لَكِنْ اَدْخَلُوْا عَلَيْهِ أَشْيَاءَ فَحَدَّثَ بِهَا بِسَلاَمَةِ بَاطِنٍ مِنْهَا حَدِيْثٌ مَوْضُوْعٌ فِيْ فَضْلِ لَيْلَةِ عَاشُوْرَاءَ وَمِنْهَا عَقِيْدَةٌ لِلشَّافِعِيِّ.
“Muhammad bin Ali bin al-Fath Abu Thalib al-‘Asysyari, seorang guru yang jujur dan dikenal. Akan tetapi orang-orang memasukkan banyak hal (riwayat-riwayat palsu) kepadanya, lalu ia menceritakannya dengan ketulusan hati, di antaranya hadits palsu tentang keutamaan malam Asyura, dan di antaranya akidah al-Syafi’i.” ( Al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, juz 3, hal. 656 dan Ibnu Hajar, Lizan al-Mizan, juz 5 hal. 301.).
Kedua, Abu al-‘Izz bin Kadisy, perawi yang tidak dapat dipercaya dan pendusta. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ أَبُو الْعِزِّ بْنُ كَادِشٍ أَقَرَّ بِوَضْعِ حَدِيْثٍ وَتَابَ وَأَنَابَ انتهى قَالَ ابْنُ النَّجَّارِ: وَكَانَ مُخَلِّطًا كَذَّابًا لاَ يُحْتَجُّ بِمِثْلِهِ وَلِلأَئِمَّةِ فِيْهِ مَقَالٌ وَقَالَ أَبُوْ سَعْدٍ ابْنُ السَّمْعَانِيِّ كَانَ ابْنُ نَاصِرٍ سَيِّءَ الْقَوْلِ فِيْهِ وَقَالَ ابْنُ اْلأَنْمَاطِيِّ كَانَ مُخَلِّطًا وَقَالَ ابْنُ عَسَاكِرَ قَالَ لِيْ أَبُو الْعِزِّ بْنُ كَادِشٍ وَسَمِعَ رَجُلاً قَدْ وَضَعَ فِيْ حَقِّ عَلِيٍّ حَدِيْثًا وَوَضَعْتُ أَنَا فِيْ حَقِّ أَبِيْ بَكْرٍ حَدِيْثًا بِاللهِ أَلَيْسَ فَعَلْتُ جَيِّدًا. (الحافظ ابن حجر، لسان الميزان).
“Ahmad bin Ubaidillah Abu al-‘Izz bin Kadisy, mengaku memalsu hadits dan bertaubat.
Ibnu al-Najjar berkata: “Ia perawi yang membingungkan, pendusta, tidak dapat dijadikan hujjah, dan para imam membicarakannya.”
Abu Sa’ad bin al-Sam’ani berkata: “Ibnu Nashir berpendapat buruk tentang Ibnu Kadisy”.
Ibnu al-Anmathi berkata: “Ia perawi yang membingungkan”.
Ibnu Asakir berkata: “Abu al-‘Izz bin Kadiys berkata kepadaku, ia mendengar seseorang yang memalsu hadits tentang keutamaan Ali: “Aku juga memalsu hadits tentang keutamaan Abu Bakar. Demi Allah, apakah aku tidak berbuat baik”. ( Al-Hafizh Ibn Hajar, Lisan al-Mizan (1/218).).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.