Adalah maklum bahwa
dzikir merupakan ibadah yang paling utama dan diperintahkan Allah –subhanahu wa
ta'ala--. Dalam surat Al-Ahzab, Allah berfirman:
يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ، وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
"Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah
kepada-Nya diwaktu pagi dan petang". (QS.
Al-Ahzab: 41-42)
Setiap muslim dianjurkan
berdzikir kepada Allah ta'ala di setiap waktu, dengan hati, lisan maupun
anggota badan. Dzikir adalah salah satu petunjuk dan bukti terbesar bagi ketergantungan
seseorang kepada Allah ta'ala, apalagi dzikir sesudah shalat, di tengah hari,
dan dzikir-dzikir ketika ada suatu sebab dan kejadian. Dzikir adalah ibadah
yang mampu mengangkat derajat seseorang di sisi Allah subhanahu wa ta'ala, dan
ia akan mendapatkan pahala yang besar tanpa usaha keras dan melelahkan.
Diantara tata cara dzikir
yang dianjurkan oleh salafuna as-shalih ialah dzikir yang dilakukan secara
berjamaah. Dzikir ialah penyebutan seorang hamba terhadap Allah azza wa jalla,
baik dengan cara menyebutkan nama dzatNya, sifat-sifatNya, hukum-hukumNya,
membaca kitabNya, berdoa kepadaNya, maupun dengan cara memuja dan
mengagungkanNya[1].
Sedangkan arti berjamaah ialah bersama-sama. Jadi, yang dimaksud dengan dzikir
berjamaah di sini ialah berdzikir secara bersama-sama dengan satu bacaan yang
sama. Seperti dzikir bersama yang dilakukan sesudah shalat, takbir saat hari
raya, acara tahlilan dan lain sebagainya.
Sebagian orang menganggap
dzikir berjamaah adalah bid'ah, tidak dalil yang menganjurkan dan tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah maupun para sahabat, wa kullu bid'atin
dlalalah, wa kullu dlalalatin finnar/Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap
kesesatan (masuk) neraka. Berikut adalah dalih mereka dalam membid'ahkan dzikir
berjamaah:
Dalih Pertama
Dzikir berjamaah tidak
diperintahkan Nabi –shallallahu alayhi wa sallam—dan juga tidak
menganjurkannya. Seandainya Rasulullah memerintahkan atau menganjurkannya,
tentu ada riwayat yang menjelaskannya. Imam As-Syatibi mengatakan: "Berdoa
secara bersama-sama selamanya bukan pekerjaan Rasulullah –shallallau alayhi wa
sallam".[2]
Syaikh Ibnu Taimiyah
mengatakan : "Tidak ada riwayat dari seorangpun bahwa Nabi –shallallahu
alayhi wa sallam- sesudah shalat berdoa bersama para makmum, baik dalam shalat
fajar, shalat subuh atau shalat yang lain. Tetapi riwayat yang ada adalah bahwa
beliau selesai shalat menghadap para sahabat, berdzikir, dan mengajari mereka
bagaimana berdzikir kepada Allah".[3]
Dalih Kedua
Yang dilakukan para salaf
dari para sahabat dan tabi'in adalah ingkar terhadap perbuatan bid'ah ini. Jika
ini bukan bid'ah tentu mereka tidak mengingkarinya. Diantara sahabat yang
mengingkari perbuatan ini adalah Umar bin Khathab:
حدثنا معاوية بن هشام قال حدثنا
سفيان عن سعيد الجريري عن أبي عثمان قال كتب عامل لعمر بن الخطاب إليه أن هاهنا
قوما يجتمعون فيدعون للمسلمين وللأمير فكتب إليه عمر أقبل وأقبل بهم معك فأقبل
وقال عمر للبواب أعد لي سوطا فلما دخلوا على عمر أقبل على أميرهم ضربا بالسوط فقال
يا عمر إنـّا لسنا أولئك الذين يعني أولئك قوم يأتون من قبل المشرق [4]
Shahabat yang lain adalah
Abdullah bin Mas'ud:
أخبرنا الحكم بن المبارك
أخبرنا عمرو بن يحيى قال سمعت أبي يحدث عن أبيه قال كنا نجلس
على باب عبد الله بن مسعود قبل صلاة الغداة، فإذا خرج مشينا معه إلى
المسجد. فجاءنا أبو موسى الأشعري فقال أخرج إليكم أبو عبد الرحمن بعد؟
قلنا لا. فجلس معنا حتى خرج. فلما خرج قمنا إليه جميعا، فقال له أبو موسى يا
أبا عبد الرحمن، إني رأيت في المسجد آنفا أمرا أنكرته ولم أر والحمد لله إلا
خيرا. قال فما هو؟ فقال إن عشت فستراه قال رأيت في المسجد قوما حلقا جلوسا ينتظرون
الصلاة في كل حلقة رجل. وفي أيديهم حصى فيقول كبروا مئة فيكبرون مئة فيقول هللوا
مئة فيهللون مئة ويقول سبحوا مئة فيسبحون مئة. قال فماذا قلت لهم؟ قال ما قلت لهم
شيئا انتظار رأيك وانتظار أمرك. قال أفلا أمرتهم أن يعدوا سيئاتهم وضمنت لهم أن لا
يضيع من حسناتهم. ثم مضى ومضينا معه حتى أتى حلقة من تلك الحلق، فوقف عليهم فقال
ما هذا الذي أراكم تصنعون؟ قالوا يا أبا عبد الرحمن حصى نعد به التكبير
والتهليل والتسبيح. قال فعدوا سيئاتكم فأنا ضامن أن لا يضيع من حسناتكم شيء. ويحكم
يا أمة محمد ما أسرع هلكتكم، هؤلاء صحابة نبيكم صلى الله عليه وسلم
متوافرون وهذه ثيابه لم تبل وآنيته لم تكسر. والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي
أهدى من ملة محمد أو مفتتحو باب ضلالة. قالوا والله يا أبا عبد الرحمن
ما أردنا إلا الخير. قال وكم من مريد للخير لن يصيبه. إن رسول الله صلى الله
عليه وسلم حدثنا أن قوما يقرءون القرآن لا يجاوز تراقيهم[5]
Khabab bin Al-Arat:
روى ابن وضاح بسند صحيح عن عبد الله
بن أبي هذيل العنزي عن عبد الله بن الخباب قال : بينما نحن في المسجد ، ونحن جلوس
مع قوم نقرأ السجدة ونبكي . فأرسل إليَّ أبي . فوجدته قد احتجز معه
هراوة له . فأقبل عليَّ . فقلت : يا أبت ! مالي مالي ؟! قال : ألم أرك
جالساً مع العمالقة؟ ثم قال : هذا قرن خارجٌ الآن [6]
Sebagaimana para sahabat,
mayoritas tabi'in juga mengingkarinya diantaranya adalah ketidak senangan Imam
Malik pada perkumpulan dalam rangka khatmul qur'an pada satu malam di bulan
ramadlan. Beliau juga tidak senang pada doa bersama sesudah selesai membaca
al-Quran[7].
Imam As-Syathibi menukil
dalam Kitab Fatawanya tentang ketidaksenangan Imam Malik pada bacaan hizib. Ia
berkata: "Hal itu adalah perkara baru, sementara para salaf sangat senang
pada kebaikan.Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan
mendahului kita dalam melakukannya"[8].
Dalih Ketiga
Nash-nash umum tentang
larangan melakukan bid'ah dalam agama seperi hadits Aisyah:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه
فهو رد
Dalih Keempat
Pendapat yang mengatakan
bahwa dzikir berjamaah adalah sunat, berarti menambah syariah Rasulullah
–shallallahu alayhi wa sallam--. Allah berfirman:
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما
لم يأذن به الله [ الشورى : 21 ]
Maka ketika Rasulullah
tidak mensyariatkan dzikir berjamaah untuk umatnya, maka pernyataan dzikir
berjamaah adalah sunat menunjukkan bahwa hal ini adalah bid'ah.
Dalih Kelima
Perbuatan dzikir
berjamaah adalah perbuatan yang menyerupai kaum Nasrani, dimana mereka
berkumpul di gereja untuk membaca kitab mereka dan bernyanyi dengan berjamaah.
Padahal syariah melarang umat Islam melakukan tasyabuh dengan orang kafir.
Dalih Keenam
Dzikir berjamaah
menimbulkan banyak dampak negatif, yaitu
- Mengganggu
orang-orang yang sedang shalat dan membaca Al-Quran, dimana hal ini
dilarang Rasulullah, seperti sabda beliau:
إلا إن كلكم مناج ربه . فلا
يؤذين بعضكم بعضاً ، ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة
- Keluar
dari sifat tenang dan waqar yang wajib dijaga oleh seorang muslim
- Membiasakan
dzikir berjamaah dapat mendorong kalangan awam untuk tidak berdzikir
ketika mereka tidak menemukan orang lain untuk dzikir bersama.
- Para
pelaku dzikir berjamaah terkadang memotong ayat karena ketidakmampuan
nafas mereka dalam membaca washal ayat-ayat al-Quran.
Terhadap dalih-dalih
mereka katakanlah: "Subhanallah! Hadza buhtanun adzim".
JAWABAN
Pertama
Dzikir berjamaah ada
semenjak zaman Rasulullah –shallallahu alayhi wa sallam—dan menganjurkannya.
Terdapat banyak hadits shahih yang menjelaskan tentang hal ini. Dalam Shahih
Muslim diriwayatkan:
عن معاوية- رضي اللّه عنه- أنه قال:
خرج رسول اللّه- صلى الله عليه وسلم- على حلقة من أصحابه فقال: "ما أجْلَسَكُم؟ قالوا: جلسنا نذكُر
اللّه تعالى ونحمَدُه على ما هدانا للإسلام ومَنَّ به علينا، قال: آللّه ما
أجْلَسَكُمْ إلا ذَاكَ؟ قالوا: واللَّهِ، ما أجلسنا إلاّ ذاك، قال:
أما إني لَمْ أستحلِفكُمْ تُهمةً لكُمْ، ولَكنَّهُ أتاني جبْرِيلُ فأخْبَرَنِي
أنَّ اللّه تعالى يُباهي بكُمُ المَلائكَةَ [9]
Lafadz hadits di atas
untuk jama' bukan mufrad. Dan lafadz hadits yang menunjukkan bahwa para sahabat
melakukan dzikir berjamaah adalah "innallaha yubahi bikum al
mala'ikah/sesungguhnya Allah membanggakan kalian terhadap para malaikat".
Ketika diucapkan bahwa
yang dimaksud dzikir dalam hadits hanya shalat dan halaqah-halaqah ilmiyah maka
jelas dalam hadits di atas para sahabat menjawab: "jalasna nadzkuru Allaha
wa nahmaduh/kami duduk berdzikir kepada Allah dan memujiNya". Yakni dzikir
dengan memuji, secara berjamaah dan dengan suara keras.
Dalam catatan atas hadits
di atas, Imam An-Nawawi mengatakan: "Hadits ini menunjukkan fadhilah
dzikir secara berjamaah, fadhilah berkumpul dengan para ahli dzikir meskipun
tidak ikut berdzikir dan menjelaskan keutamaan menghadiri majlis-majlis para
shalihin[10]"
Dalam Shahih Bukhari dan
Sunan Abi Dawud diriwayatkan:
عن ابن عباس رضي الله عنهما
قال: كنت أعرف انقضاء صلاه النبي صلي الله عليه وسلم بالتكبير[11]
Dalam hadits ini
disebutkan bahwa para sahabat mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan
takbir. Bagaimana para sahabat mengetahuinya kalau Rasulullah tidak mengucapkan
takbir dengan suara keras? Takbir adalah dzikir, bukan mengajarkan ilmu. Makna
hadits sangat jelas bahwa dzikir berupa takbir itu disuarakan dengan keras
secara berjamaah, hingga orang lain mendengarnya.
Dalam hadits lain
disebutkan
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يقول الله أنا عند حسن ظن عبدي بي و
أنا معه حين يذكرني فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي و إن ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير منه [12]
Menurut Al-Hafidz Ibnu
Hajar (Fathul Bari; 13/387), berdasarkan jawaban sebagian ahlussunnah bahwa
yang dimaksud al-mala' (golongan) yang lebih baik dari pada
golongan orang yang berdzikir ialah para nabi dan para syuhada, dimana mereka
hidup di sisi Tuhan mereka. Dan dzikir dalam al-mala' dilakukan
dengan suara keras dan berjamaah.
Selain hadits-hadits di
atas, masih banyak hadits maupun atsar yang menjelaskan anjuran dan keutamaan
dzikir secara berjamaah, meskipun kelompok yang mengharamkan dzikir berjamaah
mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut tidak menjelaskan dzikir secara
berjamaah. Pernyataan mereka itu sama sekali tidak mendasar, karena jelas dalam
hadits tidak ada lafadz yang mengarah pada dzikir sendiri-sendiri.
Kedua
Tentang atsar yang
dinisbatkan kepada Umar bin Khatab, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata bahwa
Muawiyah bin Hisyam adalah orang yang jujur (shaduq) tetapi dia sering salah
paham (lahu awham)[13].
Utsman bin Abi Syaibah berkata: "Muawiyah bin Hisyam adalah orang yang
jujur (shaduq) tetapi tidak bisa dibuat hujah (laysa bihujjah)". As-Saji
mengatakan dia benar dan sering salah paham. Ahmad bin Hanbal mengatakan:
"Dia sering salah".[14] Sedangkan
rawi hadits Said bin Iyasy Al-Jariri adalah seorang mukhtalith di akhir
hayatnya. Yahya bin Said berkata: "Dia tidak perlu diperhatikan".[15]
Atsar ini tidak ada
hubungan dengan masalah dzikir berjamaah ini, karena di sana tidak ada isyarah
tentang dzikir, lebih-lebih tentang dzikir berjamaah. Ingkar yang dilakukan
oleh Umar adalah karena doa mereka kepada amir. Sebagian ulama mengatakan bahwa
mendoakan amir adalah bid'ah –masalah khilafiyah--, seperti pendapat As-Syathibi
dalam Al-I'tisham: 1/36.
Atsar riwayat yang
dinisbatkan kepada Abdullah bin Mas'ud diriwayatkan Ad-Damiri No. 206 ataupun
yang diriwayatkan oleh Ibnu Wadhah merupakan hadits dhaif. Ad-Dzahabi
mengatakan bahwa Al-Hakam bin Al-Mubarak adalah rawi yang dianggap tsiqah oleh
Ibnu Hibbab dan Ibnu Mundah. Sedangkan menurut Ibnu Adiy menyatakan bahwa dia
termasuk diantara rawi yang me-masruq-kan hadits[16].
Ibnu Adiy dalam kitab
Al-Kamil Fi Dlu'afa' ar-Rijal meriwayatkan dua riwayat tentang pendla'ifan Ibnu
Hibban terhadap Amr bin Yahya bin Amr bin Salamah[17].
Sedangkan Al-Asqalani menukil pernyataan Ibnu Kharash bahwa Amr bin Yahya
adalah rowi yang dhaif[18].
Dengan demikian atsar tersebut adalah dlaif.
Dari segi makna, atsar
ini tidak ada hubungan dengan masalah dzikir berjamaah, apalagi
sampai melarang. Lihat perkataan Abu Musa:
أفلا أمرتهم أن يعدوا سيئاتهم وضمنت
لهم أن لا يضيع من حسناتهم
Dan
عدوا سيئاتكم فأنا ضامن أن لا يضيع
من حسناتكم شيء
Keingkaran Abu Musa
Al-Asy'ari bukan karena dzikir yang tersebut dlm hadits, melainkan karena para
pelaku dzikir itu terlalu memperhitungkan (membanggakan) dzikir yang mereka
lakukan. Karena Abu Musa khawatir mereka tertipu dengan amal-amal mereka.
Sementara atsar yang
dinisbatkan kepada Khabbab bin Al-Art, disebutkan Ibnu Abi Syaibah dalam Bab
Karahiyah Al-Qashash Alan Nas (Al-Mushannaf: 8/559), juga Ibnu Waddhah
(Al-Bida' Wan Nahyu Anha: 32). Atsar inipun tidak menjelaskan tentang dzikir
berjamaah.
Andaikata atsar yang
dianggap menjelaskan larangan dzikir berjamaah shahih, maka atsar tersebut mau
tidak mau harus dikalahkan, karena bertentangan (ta'arudh) dengan hadits-hadits
shahih yang menjelaskan anjuran dan keutamaan dzikir secara berjamaah seperti
yang tersebut diatas. Begitu pernyataan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa
Al-Fiqhiyah Al-Kubra (1/177), Al-Munawi dalam Faidlul Qadir (1/457), Al-Alusi
Dalam Ruhul Ma'ani (6/163) dan As-Suyuthi dalam Al-Hawi Lil Fatawi (1/379).
Ketiga
Ketidaksenangan Imam
Malik pada perkumpulan dalam rangka khatmul Quran, maka hal tersebut bisa
diterima, tetapi beliau sendiri memperbolehkan dzikir berjamaah. Terbukti
dengan atsar shahih tentang takbir hari raya idul adha yang dilakukan Umar bin
Khatthab secara berjamaah. Dan beliau berkata: "inilah madzhab ahlul
madinah"[19].
Dalam Hasyiyah Ash-Shawi
disebutkan: "Adapun takbir secara berjamaah dan mereka duduk di mushalla,
maka ini adalah baik. Ibnu Nabi mengatakan bahwa penduduk Qairawan terpecah
menjadi dua, ada yang mengikuti majlis Abi Amr Al-Farisi dan yang mengikuti
majlis Abu Bakr bin Abdirrahman. Ketika salah satunya selesai takbir, maka yang
lain bertakbir. Mereka ditanya tentang hal ini. Mereka menjawab: 'Hal ini baik,
dan inilah madzhab fuqaha Malikiyah".
Kalangan Syafi'iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa dzikir berjamaah hukumnya sunnat. Imam Ab-Nawawi
mengatakan bahwa membaca Al-Quran secara berjamaah adalah sunat berdasar
dalil-dalil yang jelas dan pekerjaan ulama salaf dan khalaf tentang hal ini.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan juga Abu Said Al-Khudzri –radliyallahu
anhuma- bahwa Rasulullah bersabda:
ما من قوم يذكرون الله إلا حفت بهم
الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده [20]
Dalam kitab Kasyf
al-Qana' dan Mathalib Ulin Nuha disebutkan:
Kalangan Malikiyah dalam
masalah dzikir berjamaah ada dua pendapat, makruh dan tidak makruh. Al-Khadimi
dalam Al-Bariqah al-Mahmudiyah: 3/270 mengatakan bahwa tidak apa-apa mereka
berkumpul untuk membaca al-ikhlas dengan suara keras ketika mengkhatamkan
al-Quran, tetapi yang lebih utama adalah satu saja yang membaca dan yang lain
mendengarkan.
Ibnu Abidin dalam
Hasyiahnya mengatakan bahwa Imam Al-Ghazali menyamakan dzikir seseorang
sendirian dan dzikir secara jamaah dengan adzan sendirian dan adzan berjamaah.
Beliau berkata: Maka seperti halnya suara adzan jamaah dapat menembus angkasa
lebih kuat dari pada adzan yang dilakukan oleh satu orang, maka dzikir berjamaah
lebih memberikan dampak pada hati dalam menghilangkan hijab yang menutupi hati,
dari pada dzikir yang dilakukan oleh satu orang.[22]
(BERSAMBUNG)
link asal : http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/12/dzikir-berjamaah-antara-sunnah-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.