Selasa, 29 Agustus 2017

REKONTRUKSI KONSEPSI BERMAZHAB

PROLOG

Keharusan bermazhab dan taklid bagi orang yang tidak mampu berijtihad (orang awam) adalah suatu yang asksiomatis (ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah) yang tidak patut diperdebatkan apalagi diharamkan. Legalisasi bermazhab bagi mereka merupakan perintah agama yang mesti diindahkan (QS. [21]: 7). Para ulama yang kapabilitasnya telah diakui juga bersepakat bahwa bermazhab bagi orang yang tidak mampu berijtihad adalah wajib. Hanya sebagian kecil dari sekte Muktazilah dan Imam Ibnu Hazm yang menyatakan berbeda, meski faktanya Ibnu Hazm sendiri bermazhab Zhahiri! Konsensus ulama atas keharusan bermazhab dan taklid di atas ekslusif terkait dengan persoalan cabang (furû’), bukan persoalan prinsipil (ushûl). Dalam persoalan prinsipil, ulama masih berbeda pendapat; ada yang mengatakan haram dan ada yang mengatakan tidak.

Imam al-Ghazali, ulama syafi’iyah, menegaskan bahwa orang awam wajib meminta fatwa dan mengikuti ulama. Membebani orang awam untuk mencapai level ijitihad adalah mustahil tersebab hal tersebut dapat menyebabkan terbengkalainya berbegai pekerjaan yang mesti ia lakukan yang mana hal itu dapat menyebabkan instabilitas dunia (Al-Mustashfâ, 1/283).

Imam al-Amidi, pakar ushul fiqh mazhab syafi’i, dalam al-Ihkâm fîUshûl al-Ahkâm(3/234) menyebutkan tiga dalil yang mendukung fakta keharusan bermazhab bagi orang awam. Pertama,firman Allah swt dalam surah al-Anbiya’ berikut:

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7).

Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa orang yang tidak tahu harus bertanya dan ikut kepada orang yang tahu. Ayat tersebut juga dijadikan pijakan utama ulama ushul fikih bahwa orang awam wajib bertaklid kepada orang alim yang mujtahid.

Kedua, konsensus(ijma’).Para shahabat Nabi saw berebeda-beda level keilmuannya, ada yang ahli berfatwa dan ada yang tidak. Pada masa shahabat ketika ada orang bertanya tentang hukum suatu kasus, mereka akan langsung menjawabnya tanpa menjelaskan detail dalilnya dan terhadap hal itu tidak seorang pun dari shahabat lain yang mengingkarinya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka bersepakat atas keharusan orang yang tidak tahu (awam) untuk ikut kepada orang yang tahu (mujtahid).

Ketiga, dalil rasional. Bahwa ketika orang yang tidak ahli berijtihad menghadapi sebuah kasus aktual, maka akan ada dua kemungkinan, 1) bisa jadi dia tidak beribadah sama sekali yang mana hal tersebut menyalahi konsensus ulama dan fitrah, dan 2) bisa jadi dia beribadah dengan mencari dan meneliti sendiri dalil hukumnya, atau bisa juga dengan cara bertaklid. Untuk yang pertama tentu saja tidak memungkinkan, sebab jika semua orang diharuskan mencari dan meneliti sendiri maka akan banyak hal yang akan terbengkalai yang mana hal tersebut dapat menyebabkan instabilitas dunia, sehingga tidak ada pilihan lain yang lebih rasional selain pilihan kedua, bertaklid.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa orang awam atau orang alim yang belum sampai pada level mujtahid harus bertaklid kepada seroang mujtahid. Fatwa seorang mujtahid bagi orang awam setingkat dengan dalil al-Quran dan as-Sunnah bagi seorang mujtahid. Dengan kata lain, orang yang tidak tahu harus berpegang kepada fatwa dan hasil ijtihad seorang mujtahid sebagaimana seorang mujtahid harus berpegang pada dalil al-Quran dan as-Sunnah.

Umat Islam sepakat bahwa mazhab yang harus diikuti adalah empat mazhab yang otentisitasnya terbukti terjaga hingga kini, yaitu Mazhab Hambali, Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanafi. Adapun mazhab selain yang empat tersebut, seperti Mazhab Zaidiyah, Jakfariyah, Zhahiriyah, dan yang lain, masih terjadi silang pendapat antara para ulama. Secara umum, mazhab yang boleh diikuti hanyalah mazhab yang mudawwan (terkodifikasi) dengan baik dan sumperna. Ketentuan semacam itu tidak didapati kecuali pada mazhab empat di atas, sedangkan mazhab yang lain otentisitasnya masih amat diragukan tersebab tidak terkodifikasi dengan baik dan sempurna laiknya mazhab yang empat sehingga secara akademik tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh karena tidak ada jaminan pasti bahwa mazhab tersebut tidak mengalami distorsisama sekali (Tarsyîh al-Mustafidîn, 3).

SYUBHAT KONSEPSI BERMAZHAB

Seperti telah disinggung di muka bahwa perihal keharusan bermazhab bagi orang awam tidak perlu lagi diperdebatkan apalagi diharamkan. Namun demikian, ada beberapa persoalan internal yang masih menjadi polemik di antara para mutamazhhib (orangyang bermazhab) sendiri yang perlu dikaji dengan cermat dan tuntas agar tidak terjadi kesalahpahaman dan perdebatan yang tidak kunjung usai. Di antaranya adalah berkaitan dengan persoalan keharusan menetapi satu mazhab, masalah talfiq, dan persoalan berpindah mazhab.

Ketiga persoalan di atas saling terkait erat antara satu dengan yang lain. Jika kita wajib menetapi satu mazhab, misalnya, maka berarti kita tidak boleh berpindah kepada mazhab lain. Sebaliknya, jika tidak harus menetapi satu mazhab, berarti kita boleh berpindah-pindah ke mazhab lain sesuai keinginan kita. Polemik semacam ini mulai muncul pasca wafatnya para imam mazhab dan terus berlanjut hingga sekarang. Dalam menyikapi polemik tersebut, ada yang menyikapinya dengan terlalu ekstrim kanan hingga cenderung terjerumus ke lembah fanatisme buta, sebaliknya ada yang terlalu ekstrim kiri hingga cenderung liberal. Dari sinilah rekonstrukksi konsepsi bermazhab menemukan signifikansi dan urgensinya.

Terkait polemik keharusan menetapi satu mazhab atau tidak, tidak ada jawaban yang lebih moderat dan obyektif dibanding dengan jawaban yang dipaparkan Syekh Ramadan al-Buthi dalam kitab al-Lâmazhabiyah.Menurut beliau, tidak ada kewajiban sama sekali untuk menetapi satu mazhab saja tersebab yang wajib hanya bermazhab dan taklid kepada seorang mujtahid. Jika ada orang yang menetapi satu mazhab saja, maka motivasinya bukanlah karena perintah agama melaikan bisa jadi karena kemudahan mempelajari mazhab tersebut atau karena hati merasa lebih cocok pada mazhab tersebut.

Oleh karena demikian, orang yang beriktikad bahwa menetapi satu mazhab merupakan perintah agama sehingga mencekal berpindah dan berganti mazhab merupakan iktikad yang tidak benar. Sebaliknya, orang yang beriktikad bahwa berganti-ganti mazhab adalah perintah agama juga keliru. Perintah agama hanyalahkeharusan mengikuti seorang mujtahid bagi orang yang tidak mampu secara lansung memahami dalil-dalil pokok dan tidak ditaklif lebih dari itu, misal dengan menetapi satu mazhab atau bernganti-ganti mazhab.

Ketetapan di atas menurut al-Buthi merupakan hukum yang disepakati ulama dengan beralasan pada beberapa aspek berikut:

Pertama,pendapat yang mengharuskan menetapi satu mazhab tidak memiliki dalil sama sekali. Jika keharusan tersebut dianggap sebagai hukum tambahan terhadap hukum asal yang hanya mewajibkan bermazhab dan taklid, maka hal itu membutuhkan dalil juga dan pada kenyataannya tidak ditemukan dalil tegas terkait dengan hukum tambahan tersebut.

Kedua,dalam ilmu qiraat ada sepuluh qiraat yang diakui umat Islam semenjak era Nabi saw. Setiap umat Islam bebas membaca al-Quran dengan salah satu qiraat-qiraat tersebut, sebagaimana umat Islam bebas bermazhab pada salah satu mazhab yang empat. Dengan arti lain, dalam kedua kasus tersebut sama-sama tidak memiliki keharusan untuk menepati satu mazhab atau berganti-ganti mazhab setiap harinya.

Ketiga, sama sekali tidak ditemukan aksentuasi para imam mazhab untuk menetapi satu imam atau mufti saja, justru yang ada sebaliknya sebab memang tidak ada nas dalilnya. Kecuali dalam suatu negara mengikuti mazhab tertentu secara resmi sebagai hukum positif (hukum yang berlaku), maka siapapun tidak boleh mengikuti mazhab lain selain mazhab resmi tersebut tersebab hal itu rentan memicu perbedaan dan perpecahan, di samping juga bisa merusak keputusan hakim yang telah ditetapkan dan memiliki kekuatan hukum.

Dengan demikian, berarti sama-sama tidak ada keharusan untuk menetapi atau berpindah-pindah mazhab, yang ada hanya kewajiban bermazhab dan bertaklid kepada seorang mujtahid. Dengan kata lain bisa dimafhum bahwa menetapi satu mazhab itu boleh-boleh saja senyampang tidak beriktikad hal tersebut sebagai perintah agama dan berpindah mazhab juga boleh-boleh saja selagi tidak menyakini sebagai ajaran agama yang mengikat. Sehingga, tidak seoang pun berhak memaksa orang lain untuk menetapi satu mazhab dan juga untuk berpindah-pindah mazhab, dan tidak seorang pun berhak mencangkal orang yang menetapi satu mazhab karena kecondongan hati, dan berpindah mazhab dengan alasan yang dapat dibenarkan.

Sayid Alawi bin Ahmad as-Segaf dalam al-Fawâ’id al-Makiyah menyebutkan,

واعلم أن الأصح من كلام المتأخرين كالشيخ ابن حجر وغيره أنه يجوز الإنتقال من مذهب الى مذهب من المذاهب المدونة ولو بمجرد التشهي سواء انتقل دواما أو في بعض الحادثة, وإن أفتى أو حكم أو عمل بخلافه ما لم يلزم منه التلفيق كما في الفوائد وغيره

“Pendapat yang kuat dari kalangan ulama mutakhir semacam Imam Ibnu Hajar menyatakan kebolehan berpindah mazhab meski dengan alasan tasyahi (hawa nafsu), baik berpindah secara permanen maupun hanya dalam kasus-kasus terntentu saja senyampang tidak menyebabkan talfiq.”

Imam as-Suyuthi dalam Jazîl al-Mawâhib fi Ikhtilâf al-Mazhâhibmemberikan klasifikasi hukum orang yang berpindah mazhab secara permanen sesuai dengan tujuannya. Pertama, pindah mazhab karena tujuan dunia, seperti untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan, atau karena kedekatan dengan penguasa. Apabila orang yang perpindah mazhab tersebut bukan orang yang mengerti fiqh, maka boleh-boleh saja berpindah mazhab dengan tujuan demikian. Namun berbeda halnya dengan orang yang mengerti fiqh,maka haram berpindah mazhab dengan tujuan di atas tersebab ia telah mempermainkan hukum agama dengan alasan materi.

Kedua, pindah mazhab dengan alasan agama. Boleh bagi orang yang mengerti fiqh sebagaimana ditengaskan Imam ar-Rafi’i dan wajib bagi yang tidak mengerti fiqh yang mengalami kesulitan untuk memahami mazhabnya. Bahkan, bisa jadi haram jika tidak berpindah tersebab berpindah mazhab jauh lebih baik daripada kontinyu di dalam kebodohan dan ketidakberkembangan.

Sementara itu, bagi orang yang berpindah mazhab dalam kasus-kasus tertentu, ulama memberikan beberapa syarat sebagai bentuk dari kehati-hatian (ihtiyâth) bukan untuk mempersulit. Yaitu, 1)mazhab yang diikuti mesti salah satu dari empat mazhab yang otentisitasnya sudah disepakati ulama, 2) mengetahui semua syarat-syarat dalam masalah yang hendak diikuti, 3) tidak taklid pada pendapat yang menyalahi nas al-Quran dan as-Sunnah, ijmak atau kiyas, 4) tidak mengambil yang ringan-ringan saja dari setiap mazhab (tatabu’ ar-rukhas), dan 5) tidak tafiq dengan mengawinkan dua pendapat yang melahirkan konsepsi yang sama-sama tidak diakui oleh kedua imam. Seperti taklid kepada Imam Syafi’i dalam masalah mengusap sebagian kepala dan taklid kepada Imam Malik dalam masalah tidak batalnya wudu dengan menyentuh perempuan bila tanpa syahwat. Namun demikian, menurut Imam Ibnu Ziyad, talfiq yang dilarang adalah talfiq di dalam satu masalah saja (qadhiyah) seperti contoh di atas, sedangkan di dalam masalah berbeda maka diperbolehkan seperti wudu ikut tatacara mazhab syafi’i dan salatnya ikut tatacara mazhab maliki.

Lantas, apa boleh pindah ke mazhab lain karana dianggap lebih mudah dipraktikkan? Dan haruskan mengambil pendapat yang paling kuat dalam mazhab tersebut? Imam as-Subuki dalam fatawanya (1/147) menyebutkan bahwa legal berpindah pada mazhab lain dengan tujuan mengambil yang ringan bila memandang ada hajat atau darurat.

Imam Ibnu Hajar dalam kitab al-Tuhfah (3/256) menyatakan, “Apabila teramat sulit menerapkan yang ada dalam mazhab kita (mazhab syafi’i) maka bukanlah suatu masalah  (يجوز شرعا)mencari solusi dari mazhab lain.”

Kita juga boleh taklid kepada pendapat yang lemah (dhaîf) dalam mazhab tersebut tetapi untuk diamalkan sendiri bukan untuk difatwakan atau dibuat dasar di dalam memutuskan kasus hukum di pengadilan, sebagaimana disebutkan dalam kitabHâsyiyah alâ Syarh al-Minhâj (2/82) dan kitab Hâsyiyah al-Qulyûbi (1/13). Namun demikian, Imam Ibnu Hajar memperbolehkan menyampaikan pendapat lemah kepada orang lain tetapi bukan dalam rangka iftâ’ (memberi fatwa) melain sebatas irsyâd (memberi solusi).

EPILOG

Dari analisis yang cukup panjang di atas, dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya bermazhab amatlah fleksibel, tidak kaku, dan monoton. Syarat-syarat yang rumit dalam bermazhab hanya tertentu bagi mereka yang tingkat kelimuannya (minimal) setingkat dengan mufti. Tidak demikian halnya dengan orang awam, bahkan mereka tidak mesti menentukan mazhab tertentu. Cukup apa yang dilakukan itu tidak menyalahi nas al-Quran dan as-Sunnah, ijmak, dan qiyas. Dengan kata lain, jika apa yang dikerjakan sudah sesuai dengan salah satu mazhab yang ada meskipun dia tidak taklidmaka pekerjaan tersebut dianggap sah sebagai bentuk kemudahan bagi manusia (tausi’atan alâ ibâdillah).Di samping itu, di antara asas utama syariat Islam adalah kemudahan (adam al-harj wa al-dhaiq). Oleh karenanya, jangan sampai fanatisme terhadap mazhab tertentu sampai menghilangkan asas syariat yang dibangun berdasarkan prinsip kemudahan, terlebih posisi kita hanya sebatas mursyid (pemberi solusi) bukan mufti dan objeknya adalah orang awam.

Berikut penulis kutipkan beberapa nas pernyataan ulama mengenai orang awam.

۱- ومنفتاوي سيد سليمان بن يحي مفتي زبيدعن البدر الامام الحسن بن عبد الرحمن الاهدل بأن جميع افعال العوام في العبادات والبيوع وغيرها مما لايخالف الإجماع على الصحة والسداد إذا وافقوا إماما معتبرا علي الصحيح, وعن العلامة أبي بكر بن قاسم الاهدل وما افتى به من أن العامي لا مذهب له معين يكاد أن تتعين الفتوى به في حق العوام في هذه الأزمنة وإن كان عن المتأخرين المصحح من أنه يجب عليه التزام مذهب معين لكن من خبر حال العوام في هذا الزمان سيما اهل البوادي منهم جزم بأن تكليفهم التزام مذهب معين قريب من المستحيل وبأن الفتوى ما افتى به البدر الاهدل أنه لامذهب للعامي معين كالمتعين والله المستعان انتهى بتصريف.

۲- وقال السيد عمر في الحاشية نقلا عن فتاوى ابن زيد إن العامي اذا وافق فعله مذهب امام يصح تقليده صح فعله وإن لم يقلده توسعة على عباد الله تعالى

۳- والأصح أن العامي مخير بين تقليد من شاء ولو مفضولا عن مع وجود الافضل مالم يتتبع الرخص بل وإن تتبعها على ماقاله عز الدين وغيره

So, perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’iyah adalah rahmat bagi umat sebagaimana dituturkan dalam sebuah hadis Nabi saw. Rahmat tersebut berwujud kemudahan bagi siapapun dan kapan pununtuk menggunakannya senyampang didasari tujuan serta cara yang benar dan legal syar’i.

Wallâhu a’lam bis shawâb

Lin asal

http://hmass.co/2017/08/rekonstruksi-konsepsi-bermazhab/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.