Syaikh
Prof. Dr. Ali Jum'ah
Penulis:
Syaikh Prof. Dr. Ali Jum'ah (Mufti Republik Mesir)
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ
ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab
Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk
perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap
bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR.
An-Nasa'i)
Hadits ini merupakan salah satu dari
sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami
perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau
tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim
saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah
dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan
jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada
baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari
para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.
Definisi
Bid'ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah
yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa
(etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).
Bid'ah
Menurut Bahasa (Etimologi)
Yaitu hal baru yang disisipkan pada
syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah
adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi')
menurut adat terkesan tercela.
Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa
bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh
siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini,
artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
Bid'ah
Menurut Istilah (Terminologi/Syariat)
Ada dua cara yang ditempuh para
ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara'.
Segala
hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah
Pandangan ini dimotori oleh Al Izz
bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang
tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada
hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:
"Amal perbuatan yang belum
pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau
terbagi lima macam:
1.
Bid'ah
wajib.
2.
Bid'ah
haram
3.
Bid'ah
sunah
4.
Bid'ah
makruh
5.
Bid'ah
mubah
hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai
dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib),
jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan
itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah
atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia
masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan
itupun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil
Anam, juz 2. h. 204)
Makna tersebut juga dikatakan oleh
Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di
zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang
kebalikannya/buruk.
البدعة هو فعل ما لم يسبق إليه فما وافق السنة
فحسن وما خالف فضلالة
(lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al
Asqalani. Juz 2.h. 394).
Definisi
Bid'ah Syariat Lebih Khusus
Cara kedua yang ditempuh para ulama
untuk mendefinisikan bid'ah adalah: menjadikan pengertian bid'ah menurut
syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya
berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan
bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz
bin Abdussalam.
Cara kedua ini membatasi istilah
bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu
Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa
والمراد
بالبدعة : ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له أصلٌ
مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً
bid'ah adalah suatu perbuatan yang
tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan
ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah,
sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lihat Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h.
223)
Sebenarnya kedua cara yang ditempuh
para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka
terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati
ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika
megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang
menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."
Definisi yang jelas inilah yang
dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i--sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi--bahwa beliau berkata,
المحدثات
ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من
الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة
"Perkara baru yang tidak ada di
zaman nabi SAW itu ada dua kategori:
1.
Perkara
baru yang bertolak belakang dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau
Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah).
2.
Perkara
baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah,
pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela."
(Riwayat Al Baihaqi. Lihat kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga
oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya'. 9/113)
Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid
Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di
zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah
yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah
ditetapkan syari'at.
إنما البدعة المذمومة ما يصادم السنة القديمة أو يكاد يفضي إلى
تغييرها
(Lih.Ihya' Ulumuddin, juz 2, h. 248)
وإنما البدعة المذمومة ما تضاد السنن الثابتة وأما ما يعين على
الاحتياط في الدين فمستحسن
Imam An-Nawawi telah menukil dari
Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id
Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum),
"Bid'ah itu terbagi kepada
wajib, sunah, mubah, haram dan makruh ... "
Di kesempatan lain, dalam
pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata,
"Ketahuilah bahwa bersalaman
ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman
pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan
tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah
Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai
shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung
oleh dasar syariat (Sunnah)." (lihat An-Nanawi dalam Al Adzkar)
Adapun Ibnu Al Atsir berkata,
"Bid'ah itu ada dua macam,
bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya
bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu
termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan
dianjurkan maka perkara itu terpuji. Dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada
dasarnya adalah sunah."
Karena itu hadits Nabi SAW,
"Bahwa setiap perkara baru itu
bid'ah."
Dipahami jika perkara baru itu
bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan
Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki
pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya:
Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah
berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak
belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan
dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan
Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang
tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan
kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang
terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via
email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya--Red)."
Perkara baru ini tidak boleh
bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai
perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan
pahala: beliau bersabda,
"Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."
Pada perbuatan kebalikannya beliau
bersabda pula,
"Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia
mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya."
Hal itu terjadi jika perbuatannya
bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan
Umar,
"Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang
baik".
Jika perbuatan itu termasuk katagori
kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji,
karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada
mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan
tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.
Praktik shalat Tarawih berjamaah ini
juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa
Umar bin Al Khaththab, beliau menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga
Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut
adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW,
"Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun
setelahku."
Juga sabda beliau lainnya,
"Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali ..."
Adapun hadits nabi SAW,
"Setiap perkara baru adalah bid'ah"
Dipahami jika perkara itu bertolak
belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lihat
Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)
Sikap
Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah
Jumhur ulama (mayoritas ulama)
berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat
imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi
dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari
Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al
Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi
yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal
yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib,
sunah, haram, makruh dan mubah.
Para ulama ini memberikan
contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:
- Bid'ah wajib
Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا
لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."
- Bid'ah haram
Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya. - Bid'ah sunah
Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at. - Bid'ah makruh
Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an. - Bid'ah mubah
Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.
Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar
pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:
- Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di
masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Ini sebaik-baik bid'ah.
Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata:
Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,
"Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal."
Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata,
نِعْمَتِ
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Inilah sebaik-baik bid'ah.
Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam. (HR. Bukhari)
- Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan
secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara
baik.
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab,
"Bid'ah".
(HR. Bukhari dan Muslim) - Hadits-hadits
yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk
diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada
nabi SAW):
من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة، ومن سن سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة
"Siapa
yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan
pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai
suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang
mengikutinya sampai hari kiamat."
(HR. Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita
simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama:
- Seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan
selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya
tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari
segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya,
akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan
sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
- Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang
dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami
paparkan sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim
terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam,
masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara
semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka
yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat
dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal
itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau
kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar
dan aneh di kalangan umat Islam.
Wallahu a'lam
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.