dalil amalam NU
Dalil sesatnya setiap bid’ah
Dalil sesatnya setiap bid’ah
Menyangkut bid’ah yang sering
dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di
berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan,
yaitu:
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه
مسلم)
“Adapun sesudahnya: Maka
sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur’an) dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk
perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid’ah
itu kesesatan” (HR. Muslim).
مَنْ
يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ
أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)
“Barang siapa yang diberi petunjuk
oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan
oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya
sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah
muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru
diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan
itu (tempatnya) di dalam neraka” (HR.
Nasa’i)
Pada hadis di atas, ada dua hal yang
disebut sebagai perkara yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid’ah.
Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan.
Sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum pernah ada
sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid’ah dengan ungkapan:
كُلُّ
شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Apa yang dilakukan tanpa contoh
sebelumnya”
Dari pengertian tersebut, berarti
seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. dianggap
sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau agama maupun yang tidak. Sampai
di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat
atau bid’ah secara bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk
urusan duniawi seperti: Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka
pengertiannya kemudian dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama
saja, dengan dasar hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barangsiapa mengada-adakan perkara
baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) daripadanya,
maka hal itu tertolak” (HR.
Muslim)
Kaum Salafi & Wahabi menganggap
hadis tentang muhdatsah dan bid’ah di atas sebagai dalil yang
mencakup semua hal “berbau agama” atau “berbau ibadah” yang tidak pernah ada
formatnya di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis
itu adalah hadis terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh
ajaran Islam beliau sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku.
Akibatnya, tidak ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani
kehidupan beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para
shahabat beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi
mereka tidak boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam
hadis atau sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berarti bid’ah.
Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau
tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin’ Donut
membuat donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai
rasa, maka ia telah melakukan bid’ah.
Yang demikian karena mereka
mendefinisikan bid’ah dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan
di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para
Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 71). Padahal,
definisi ini pun sebentuk bid’ah, karena tidak pernah disebutkan oleh
Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.
Agaknya pemahaman seperti itulah
yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan berbau agama. Dalam benak
mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika menyebutkan “setiap bid’ah
adalah kesesatan”, Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau
agama yang akan diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari
kiamat dan beliau tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau
memvonis seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan
hanya ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau,
dan seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau
sudah melakukannya. Benarkah begitu?
Mari kita teliti pemahaman kaum
Salafi & Wahabi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yaitu:
1. Hadis
tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut bersifat umum , artinya
tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk ke dalamnya. Karenanya
tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang berbau agama yang
diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena banyak perkara baru
“berbau agama” yang tidak mungkin dianggap sesat seperti: Mengumpulkan
al-Qur’an dalam satu mushaf lalu mencetak dan memperbanyak mushaf, mendirikan
baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi khalifah, menulis kitab ilmu agama,
mendirikan pesantren atau yayasan, dan lain sebagainya.
Bila Rasulullah Saw. tahu semua
perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat beliau enggan
menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang terperosok ke
dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai orang kolot yang tidak
mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga beliau hanya berpegang
teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di masa hidupnya lalu
menyatakan, “inilah agama. Apa saja dan bagaimana saja orang melakukan sesuatu
berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama dengan yang aku &
Shahabatku lakukan maka ia tertolak”. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. yang
sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena seolah-olah menganggap kehidupan
manusia di setiap zaman sama saja, sehingga sepertinya beliau tega mengukur
tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di masa belakangan dengan diri beliau
dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat menyadari perbedaan itu semua seperti
yang disebut dalam sabdanya:
… لاَ
يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى
تَلْقَوْا رَبَّكُمْ …(رواه البخاري
)
“Tidaklah datang suatu zaman kepada
kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian
menjumpai Tuhan kalian …” (HR.
Bukhari)
2. Hadis
tentang muhdatsat dan bid’ah tersebutbukanlah hadis Rasulullah
yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan, melainkan
hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan para
shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih
mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau
pemahaman tentang maksud “sesatnya” muhdatsat dan bid’ah yang
sesungguhnya.
Contohnya seperti riwayat tentang
seorang shahabat yang membaca do’a I’tidal dengan bacaan yang dibuatnya
sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang melakukan shalat sunnah
setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat tentang cara membaca al-Qur’an
di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar dengan suara lirih, Umar dengan
suara keras, dan ‘Ammar dengan mencampur ayat pada satu surat dengan ayat di
surat lain); atau tentang cara shalat masbuq yang dilakukan oleh Mu’adz
bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya dengan inisiatif/ijtihad
sendiri tetapi Rasulullah Saw. malah membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan
menyebutkan keutamaannya. Yang lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran
Umar bin Khattab Ra. kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun
al-Qur’an dalam satu mushaf, juga riwayat tentang pelaksanaan bid’ah shalat
tarawih di masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya
mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama.
Kaum Salafi & Wahabi seperti
menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut,
tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi
pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid’ah yang sesat, sehingga
mereka memukul rata seluruh bid’ah sebagai kesesatan tanpa kecuali.
Mereka menolak pendapat
para ulama yang membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah
dhalalah/sayyi’ah (bid’ah yang sesat/buruk) dan bid’ah hasanah/mahmudah
(bid’ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat para ulama yang
mengkategorikan bid’ah secara hukum menjadi lima (wajibah, mandubah,
makruhah, mubahah, muharramah).
Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid’ah menjadi dua, yaitu: bid’ah
diniyyah/syar’iyyah (bid’ah agama/syari’at) dan bid’ah duniawiyah
(bid’ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid’ah diniyyah menjadi
bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya menjadi dua: yaitu bid’ah
I’tiqadiyah (bid’ah aqidah) dan bid’ah ‘amaliyah (bid’ah amalan),
ada juga yang membaginya lagi menjadi dua, yaitu: Bid’ah mukaffirah (bid’ah
yang menyebabkan kafir) dan bid’ah ghairu mukaffirah (bid’ah yang tidak
menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid’ah
mukaffirah, bid’ah muharramah, bid’ah makruhah tahrim, dan bid’ah
makruhah tanzih (lihat Ensiklopedia Bid’ah, Hammud Abdullah
al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah,
Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4).
3. Perkara
baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan
penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan sekalipun.
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak diarahkan oleh Allah untuk
merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai baik dan buruknya segala
sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang kebaikan misalnya, beliau sudah
mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan itu yang bisa berlaku sampai hari
kiamat, bukan sebatas formatnya saja (kecuali format ibadah mahdhoh).
Sebab format kebaikan itu dapat berkembang berdasarkan kebutuhan dan
perkembangan hidup manusia pada masing-masing tempat dan zaman. Buktinya,
Rasulullah Saw. tidak mendirikan pesantren, rumah sakit, atau yayasan
penampungan anak yatim, padahal itu baik.
Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan
ash-Shun’ah fii tahqiq ma’na al-Bid’ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam
Syafi’I berkata:
كل
ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد
يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به
“Setiap sesuatu yang mempunyai dasar
dari dalil-dalil syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun belum pernah
dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang
karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada
amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh
mereka (belum dikenal formatnya-red) ” (lihat
buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat &
Dzikir Syirik” (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).
4. Definisi
bid’ah yang dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid’ah.
Sebab, Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan
definisi tentang bid’ah seperti yang mereka buat, yaitu: “”Sesuatu
yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh
Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal”. Dalam
pengertian lain definisi itu berbunyi, “Perkara baru di dalam agama yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau.” Mereka
juga mengklasifikasi bid’ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau
(lihat poin no. 2 di atas). Jadi, mereka menolak bid’ah, tapi mereka sendiri
melakukan bid’ah. Aneh, kan?!
Sebagian kalangan dari kaum Salafi
& Wahabi ada yang tidak mau menerima pendapat tentang pengklasifikasian bid’ah
(syar’iyyah & duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka,
mungkin entah karena ingin konsisten berpegang pada hadis “Setiap bid’ah
adalah kesesatan”, atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan
karena di satu sisi menolak pembagian bid’ah kepada hasanah &
sayyi’ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar’iyyah &
duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus
yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga
dianggap bid’ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan
mushaf al-Qur’an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa perkara-perkara
tersebut bukanlah dianggap bid’ah, melainkan termasuk dalam mashlahat
mursalah (kemaslahatan umum).
Mereka juga berdalih bahwa apa saja
yang dapat menjadi sarana untuk melaksanakan perintah hukumnya juga diperintah,
bukanlah bid’ah, meskipun sarana itu tidak pernah ada di zaman
Rasulullah Saw., karena “sarana dihukumi menurut tujuannya” (lilwasaa’il
hukmu al-maqashid), sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan
zamannya. Jadi, membangun sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu
pengetahuan, dan lain sebagainya termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan
pelaksanaan menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu syari’at yang
diperintahkan di dalam agama (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 29-30).
Kalau begitu, kenapa mereka tidak
bisa melihat bahwa acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau kegiatan tahlilan
dan istighatsah yang tidak ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu
sebagai maslahat umum (maslahat mursalah) sekaligus sarana untuk
melaksanakan perintah di dalam agama seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca
al-Qur’an, bershalawat kepada Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo’a,
berbagi rezeki atau sedekah, dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh.
Bukankah semua amalan itu jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk mewujudkan
pelaksanaan perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang diperintahkan
itu boleh berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan keagamaan
seperti itu mengandung maslahat dalam menjaga kualitas keimanan dan
ketaatan, lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa Rasulullah Saw.?
5. Bila
segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur’an dan
hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk apa
beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid (pembaharu) yang mengajarkan
umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah sabda
Rasulullah Saw. berikut ini:
إِنَّ
اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ
يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
“Sesungguhnya Allah akan mengutus
untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui
agama mereka” (HR. Abu Dawud, al-Hakim,
al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam ‘Aunul-Ma’bud,
bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang
berbeda, yaitu:
إِنَّ
اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ
النَّاسَ دِينَهُمْ
“Sesungguhnya Allah ta’ala
menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia
tentang agama mereka.”
Hadis ini menandakan adanya
legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama
dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami al-Qur’an dan
hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka adalah tindakan
yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang
dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa Rasulullah Saw.
bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa
belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau. Dan lagi, hadis
itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah tentang salah satu
rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.
Dari sekian nama ulama pembaharu (mujaddid)
dari setiap masa seratus tahun pertama sampai masa seratus tahun kedelapan
(sebagaimana disebut oleh as-Suyuthi di dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii
Akhbaaril-Mujaddidiin), dan sampai masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana
disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di dalam ‘Aunul-Ma’buud), tidak terdapat
nama Ibnu taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab (perintis paham Salafi &
Wahabi). Bagaimana mungkin mereka dianggap mujaddid (pembaharu)
sedangkan paham mereka banyak yang bertentangan dengan ijma’ mayoritas
ulama.
Kemungkinan ada orang belakangan
yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai pembaharu, tetapi pengakuan itu tidak bisa
dibenarkan. Sebab paham yang di bawa Ibnu Taimiyah adalah paham baru yang tidak
pernah dianut oleh para ulama sebelumnya bahkan para ulama mujaddid
sekalipun. Bagaimana mungkin penobatan Ibnu Taimiyah sebagai mujaddid bisa
dibenarkan, sementara ia hanya mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama salaf
(mereka yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi’in sekitar
300 H.). Berarti, status mujaddidnya Ibnu Taimiyah (yang muncul di abad
ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan mujaddid
dari sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa dibenarkan sedangkan
Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan ada di setiap akhir
masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap mujaddid oleh
para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di
abad ke-12 lebih tidak pantas lagi.
Menolak adanya pembagian bid’ah menjadi
dua, yaitu bid’ah dhalalah/madzmumah dan bid’ah hasanah/mahmudah,
maka secara tidak langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan
oleh mujaddid, sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam
Syafi’I yang diakui oleh para ulama sebagai mujaddid pada akhir masa
abad ke-2 (sebelumnya di abad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz) dan
disetujui penjelasannya itu oleh para ulama setelahnya.
http://laskarnahdiyin.wordpress.com/menyingkap-tipu-daya-fitnah-keji-fatwa-fatwa-kaum-salafi-wahabi/kejanggalan-kaum-salafi-wahabi-dalam-berdalil/dalil-sesatnya-setiap-bidah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.