Permasalahan pertama :
Perayaan Maulid belum pernah dilaksanakan orang-orang terdahulu (generasi salaf) dan juga tidak dijumpai pada masa Rasûlullâh SAW, otomatis Maulid adalah bid’ah yang harus diingkari.
Perayaan Maulid belum pernah dilaksanakan orang-orang terdahulu (generasi salaf) dan juga tidak dijumpai pada masa Rasûlullâh SAW, otomatis Maulid adalah bid’ah yang harus diingkari.
Jawaban :
Segala sesuatu yang belum pernah dilaksanakan orang-orang terdahulu dan juga tidak dijumpai pada masa Rasûlullâh SAW bukan berarti semuanya bid’ah yang harus diingkari, karena jika demikian maka akan haram juga mengenai apa yang dilaksanakan Sahabat Abu Bakar, ‘Umar bin Khath-thâb dan Zaid bin Tsâbit dalam mengumpulkan Al-Qur’ân dan menulisnya pada lembaran-lembaran karena khawatir akan terlantarnya (hilangnya) Al-Qur’ân akibat wafatnya para Sahabat yang hafal Al-Qur’ân. Dan jika demikian maka haram pula hukumnya Sayyidinâ ‘Umar t yang mengumpulkan orang-orang agar melaksanakan Shalât Tarâwikh dibawah pimpinan satu Imam, yang mana saat itu beliau mengatakan :
Segala sesuatu yang belum pernah dilaksanakan orang-orang terdahulu dan juga tidak dijumpai pada masa Rasûlullâh SAW bukan berarti semuanya bid’ah yang harus diingkari, karena jika demikian maka akan haram juga mengenai apa yang dilaksanakan Sahabat Abu Bakar, ‘Umar bin Khath-thâb dan Zaid bin Tsâbit dalam mengumpulkan Al-Qur’ân dan menulisnya pada lembaran-lembaran karena khawatir akan terlantarnya (hilangnya) Al-Qur’ân akibat wafatnya para Sahabat yang hafal Al-Qur’ân. Dan jika demikian maka haram pula hukumnya Sayyidinâ ‘Umar t yang mengumpulkan orang-orang agar melaksanakan Shalât Tarâwikh dibawah pimpinan satu Imam, yang mana saat itu beliau mengatakan :
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هذِهِ
“ Inilah sebaik-baiknya bid’ah “ (H.R. Bukhâriy)
“ Inilah sebaik-baiknya bid’ah “ (H.R. Bukhâriy)
Dan haram pula membuat karangan dalam segala bidang ilmu yang bermanfaat serta mendirikan pesantren, sekolahan, rumah sakit, panti asuhan, penjara dan lain sebagainya.
Namun sebaliknya, perkara yang baru (bid’ah) tersebut harus dipertimbangkan dengan dalil-dalil syar’i, sehingga segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan hukumnya bisa wajib, atau yang mengandung hal-hal yang haram maka hukumnya haram, atau yang mengandung hal-hal yang makruh maka hukumnya makruh, atau yang mengandung hal-hal yang mubah maka hukumnya mubah, atau mengandung hal-hal yang sunnah maka hukumnya sunnah. Dan juga karena sesuai dengan kaidah fiqh yang mengatakan :
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ اْلمَقَاصِدِ
“ Hukum beberapa perantara itu sama dengan tujuan-tujuannya “
“ Hukum beberapa perantara itu sama dengan tujuan-tujuannya “
Jika demikian, maka setiap perkara yang termuat oleh dalil-dalil syar’iyyah namun ketika memperbaharuinya tidak bermaksud untuk menentang syari’at dan tidak ada kemungkaran didalamnya maka itu semua merupakan bagian dari agama. Oleh karena itu para Ulama memberi batasan pada kata “ BID’AH” dalam hadist :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
(Setiap bid’ah itu sesat - HR.Ahmad, Abu Dawud, dll) dengan bid’ah yang sesat saja, sesuai dengan sabda Nabi SAW :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
(Setiap bid’ah itu sesat - HR.Ahmad, Abu Dawud, dll) dengan bid’ah yang sesat saja, sesuai dengan sabda Nabi SAW :
مَنْ سَنَّ فىِ اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُمَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئٌ
Artinya :
“Barang siapa dalam agama Islâm mempelopori perbuatan yang baik, maka orang tersebut akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan (perbuatan tadi) setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala-pahala mereka.” (HR.Muslim, Nasa’i, dll)
Artinya :
“Barang siapa dalam agama Islâm mempelopori perbuatan yang baik, maka orang tersebut akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan (perbuatan tadi) setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala-pahala mereka.” (HR.Muslim, Nasa’i, dll)
Al-Imâm Muhammad ibn Idrîs Al-Syâfi’iy telah berkata : Perkara yang baru dan berselisih dengan Al-Qur’ân, Hadist, Ijmâ’ dan Atsâr adalah bid’ah yang sesat, sedangkan perkara yang baru dari kebaikan dan sama sekali tidak berselisih dengan hal-hal tersebut itu merupakan perkara yang terpuji.
Senada dengan keterangan diatas, Al-Imâm Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Syarof Al-Nawâwiy menjelaskan dalam karyanya yang berjudul Tahdzîb Al-Asmâ’ wa Al-Lughot bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, beliau mengatakan :
“Didalam Syara’, bid’ah adalah menciptakan perkara yang tidak dijumpai pada zaman Rasûlullâh SAW dan bid’ah sendiri terbagi kepada bid’ah hasanah (baik) dan qobîhah (buruk),sedangkan yang menunjukkan pembagian tersebut adalah perkataan Sayyidinâ ‘Umar yang telah dahulu :
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هذِهِ
Artinya :
“ Inilah sebaik-baiknya bid’ah “ (H.R. Bukhâriy)
“Didalam Syara’, bid’ah adalah menciptakan perkara yang tidak dijumpai pada zaman Rasûlullâh SAW dan bid’ah sendiri terbagi kepada bid’ah hasanah (baik) dan qobîhah (buruk),sedangkan yang menunjukkan pembagian tersebut adalah perkataan Sayyidinâ ‘Umar yang telah dahulu :
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هذِهِ
Artinya :
“ Inilah sebaik-baiknya bid’ah “ (H.R. Bukhâriy)
Permasalahan kedua :
Maulid Nabi Muhammad SAW itu dirayakan pada bulan Robi’ul awal, padahal pada bulan itu juga beliau wafat. Lantas kenapa hanya kegembiraan dengan lahirnya beliau saja yang diperingati, tanpa memperdulikan rasa berkabung atas wafatnya beliau?
Maulid Nabi Muhammad SAW itu dirayakan pada bulan Robi’ul awal, padahal pada bulan itu juga beliau wafat. Lantas kenapa hanya kegembiraan dengan lahirnya beliau saja yang diperingati, tanpa memperdulikan rasa berkabung atas wafatnya beliau?
Jawaban :
Al-Imâm Jalâluddîn Abdurrahmân Al-Suyûthiy menjelaskan bahwa lahirnya Baginda Nabi SAW adalah suatu nikmat yang paling agung bagi kita. Adapun syari’at Islâm mengajarkan untuk melahirkan rasa syukur terhadap nikmat serta bersabar, tenang dan menyembunyikan rasa sedih ketika terkena berbagai musibah. Disamping itu syari’at juga menuntun agar melaksanakan 'aqîqoh ketika lahirnya seorang anak, akan tetapi tidak menganjurkan untuk menyembelih semisal kambing dan lain sebagainya ketika seseorang meninggal. Dengan demikian kaidah-kaidah syari’at Islâm menunjukkan bahwa yang paling baik dalam bulan (Rabi’ul Awwal) ini adalah mengungkapkan kegembiraan atas lahirnya baginda Nabi SAW, bukan mengungkapkan kesedihan atas wafatnya beliau.
Al-Imâm Jalâluddîn Abdurrahmân Al-Suyûthiy menjelaskan bahwa lahirnya Baginda Nabi SAW adalah suatu nikmat yang paling agung bagi kita. Adapun syari’at Islâm mengajarkan untuk melahirkan rasa syukur terhadap nikmat serta bersabar, tenang dan menyembunyikan rasa sedih ketika terkena berbagai musibah. Disamping itu syari’at juga menuntun agar melaksanakan 'aqîqoh ketika lahirnya seorang anak, akan tetapi tidak menganjurkan untuk menyembelih semisal kambing dan lain sebagainya ketika seseorang meninggal. Dengan demikian kaidah-kaidah syari’at Islâm menunjukkan bahwa yang paling baik dalam bulan (Rabi’ul Awwal) ini adalah mengungkapkan kegembiraan atas lahirnya baginda Nabi SAW, bukan mengungkapkan kesedihan atas wafatnya beliau.
Sumber ;
Al-Mausû’ah Al-Yûsufiyyah hal.149
Al-Mausû’ah Al-Yûsufiyyah hal.149
Permasalahan ketiga :
Perayaan Maulid termasuk salah satu dari macam sanjungan yang berlebihan dan mensucikan kepada Nabi SAW yang termasuk bagian dari pada perkara yang berdampak mengunggulkan pangkat beliau lebih dari sekedar manusia, padahal beliau pernah bersabda :
لاَ تُطْرُوْنىِ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
Artinya :
" Janganlah kalian berlebihan dalam menyanjungku, seperti halnya kaum Nasrani yang menyanjung 'Isâ bin Maryam dengan berlebihan, karena sesungguhnya aku hanyalah hamba Allâh SWT dan utusan-Nya ”(H.R. Bukhâriy)
Perayaan Maulid termasuk salah satu dari macam sanjungan yang berlebihan dan mensucikan kepada Nabi SAW yang termasuk bagian dari pada perkara yang berdampak mengunggulkan pangkat beliau lebih dari sekedar manusia, padahal beliau pernah bersabda :
لاَ تُطْرُوْنىِ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
Artinya :
" Janganlah kalian berlebihan dalam menyanjungku, seperti halnya kaum Nasrani yang menyanjung 'Isâ bin Maryam dengan berlebihan, karena sesungguhnya aku hanyalah hamba Allâh SWT dan utusan-Nya ”(H.R. Bukhâriy)
Jawaban :
Sebenarnya cara mencari dalil (untuk menolak perayaan Maulid) seperti ini tidaklah benar alias keliru, karena cara menyanjung yang dilarang oleh syari’at adalah seperti cara menyanjungnya kaum Nasrani yang sangat berlebihan dengan menganggap bahwa Nabi 'Isâ Al-Masîh sebagai anak laki-laki dari Allâh SWT, namun ternyata Allâh SWT membenci hal itu. Adapun menyanjung Nabi Muhammad SAW dalam perayaan Maulid tidaklah terlampau jauh melewati batas dari menyanjung keutamaann-keutamaan beliau seputar kenabian dan berbagai budi pekerti luhur (Akhlâq Al-Karîmah) beliau yang terpuji. Dan kenyataan yang terjadi dalam hal itu, banyak dari kalangan sahabat yang memuji baginda Nabi SAW, baik ketika beliau masih hidup atau setelah wafat.
Sebenarnya cara mencari dalil (untuk menolak perayaan Maulid) seperti ini tidaklah benar alias keliru, karena cara menyanjung yang dilarang oleh syari’at adalah seperti cara menyanjungnya kaum Nasrani yang sangat berlebihan dengan menganggap bahwa Nabi 'Isâ Al-Masîh sebagai anak laki-laki dari Allâh SWT, namun ternyata Allâh SWT membenci hal itu. Adapun menyanjung Nabi Muhammad SAW dalam perayaan Maulid tidaklah terlampau jauh melewati batas dari menyanjung keutamaann-keutamaan beliau seputar kenabian dan berbagai budi pekerti luhur (Akhlâq Al-Karîmah) beliau yang terpuji. Dan kenyataan yang terjadi dalam hal itu, banyak dari kalangan sahabat yang memuji baginda Nabi SAW, baik ketika beliau masih hidup atau setelah wafat.
Didalam rangkaian syair yang berjudul Burdah, Imam Al-Bushairiy menyampaikan :
@
دَعْ مَا ادَّعَـتْهُ النَّصَارَى فىِ نَبِيِّهِمِ
دَعْ مَا ادَّعَـتْهُ النَّصَارَى فىِ نَبِيِّهِمِ
وَاحْكُمْ ِبمَاشِئْتَ مَدْحًا فِيْهِ وَاحْتَكِمِ
@
@
@
فَانْسُبْ إِلىَ ذَاتِهِ مَاشِئْتَ مِنْ شَرَفِ
فَانْسُبْ إِلىَ ذَاتِهِ مَاشِئْتَ مِنْ شَرَفِ
وَانْسُبْ إِلىَ قَدْرِهِ مَاشِئْتَ مِنْ عِظَمِ
@
@
@
فَإِنَّ فَـضْلَ رَسُـوْلِ اللهِ لَيْسَ لَهُ
فَإِنَّ فَـضْلَ رَسُـوْلِ اللهِ لَيْسَ لَهُ
حَـدٌّ فَيُعْرِبَ عَـنْهُ نَاطِـقٌ بِفَمِ
@
@
@
فَمَبْـلَغُ الْعـِلْمِ فِيْهِ أَنَّـهُ بَشَـرٌ
فَمَبْـلَغُ الْعـِلْمِ فِيْهِ أَنَّـهُ بَشَـرٌ
وَأَنَّـهُ خَـيْرُ خَـلْقِ اللهِ كُلِّـهِمِ
@
@
Artinya :
" Tinggalkanlah tuduhan kaum Nasrani, kepada Nabi yang mereka miliki
tetapkan dan kukuhkanlah kepada Nabi, pujian apapun yang kau sukai "
" Tinggalkanlah tuduhan kaum Nasrani, kepada Nabi yang mereka miliki
tetapkan dan kukuhkanlah kepada Nabi, pujian apapun yang kau sukai "
" Sematkanlah pada diri Nabi, segala kemuliaan yang kau kehendaki
nisbatkan pula pada martabat Nabi, segala keagungan yang kau kehendaki "
nisbatkan pula pada martabat Nabi, segala keagungan yang kau kehendaki "
" Sebab keutamaan utusan Allâh Ta’âlâ, tiada tepi batasnya
sehingga mudah mengurai dapat dirasa, bagi lisan orang yang berkata "
sehingga mudah mengurai dapat dirasa, bagi lisan orang yang berkata "
" Akhir dari segala keyakinan yang ada, beliau hanyalah manusia
namun beliaulah makhluk paling sempurna diantara segala "
namun beliaulah makhluk paling sempurna diantara segala "
Sepenggal kisah yang sudah dikenal oleh khalayak umat muslimin tentang hijrahnya Nabi Muhammad SAW juga turut menjadi saksi bahwa syari’at Islâm tidak melarang untuk memuji dan menyanjung Nabinya, selagi tidak sampai seperti cara yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani.
Ketika Rasûlullâh SAW bersama kaum Muhâjirîn hampir tiba diperbatasan masuk kota Madinah, dari kejauhan sayup-sayup mulai didengar pujian kaum Anshâr dalam rangka menyambut kedatangan baginda Nabi SAW bersama kaum Muhâjirîn, sembari memukul rebana (terbang ; jawa) kaum Anshâr bersama-sama melantunkan pujian :
مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ "
@
" طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا
@
" طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا
Artinya :
“ Telah terbit bulan purnama diantara kita dari lembah wadâ’…… ”
“ Telah terbit bulan purnama diantara kita dari lembah wadâ’…… ”
Apakah benar sanjungan dan pujian para sahabat Nabi dan umat Muslimîn kepada baginda Nabi SAW itu semua hal yang melanggar syari’at? Andaikata demikian, kenapa Rasûlullâh SAW diam saja saat disanjung para Sahabat Anshâr ?
Dalam suatu peribahasa ada yang mengatakan “ diam tanda setuju ” ternyata ungkapan tersebut juga dipakai oleh kalangan Muhadditsîn (Ulama ahli hadits) didalam memberikan definisi “ hadits ” dengan bahasa :
مَا اُضِيْفَ اِلىَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ
Artinya :
“ Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada baginda Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat ”
Artinya :
“ Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada baginda Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat ”
Diamnya Rasûlullâh SAW saat itu, ternyata bukan hanya diam seribu bahasa, namun mempunyai arti dan maksud tersendiri, yakni menyetujui terhadap apa yang terjadi dihadapan beliau sesuai pernyataan Muhadditsîn diatas tentang pengertian hadits.
BERSAMBUNG …
KUTIPAN BUKU “ MAULID NABI TRADISI YANG BERSYARI’AT ATAU SEKEDAR TRADISI ?
PENYUSUN :
Team Karya Ilmiyah Antariksa Kelas IV Tsanawiyyah MISRIU PP. Al-Falah Ploso Kediri 2008
1. GUS M. DLIYAULLAMI’
2. A. MA’MUN (ALM)
3. HUJJAM MABRURI
4. M. HARSANDI KUDUNG KANTIL
5. M. HAWI
6. SAIFURROHMAN
7. MANUTHO MUHAMMAD AR-ROSUL
8. SAIFUL MUNIR
9. ABDUL MANNAN
10. AINUL MUTTAQIN
Team Karya Ilmiyah Antariksa Kelas IV Tsanawiyyah MISRIU PP. Al-Falah Ploso Kediri 2008
1. GUS M. DLIYAULLAMI’
2. A. MA’MUN (ALM)
3. HUJJAM MABRURI
4. M. HARSANDI KUDUNG KANTIL
5. M. HAWI
6. SAIFURROHMAN
7. MANUTHO MUHAMMAD AR-ROSUL
8. SAIFUL MUNIR
9. ABDUL MANNAN
10. AINUL MUTTAQIN